Kamu, Pergi

Hari-hari setelah kepergianmu terasa selalu sama. Kelam, sepi, hampa.

Setelah punggung yang dulu selalu melindungiku kini berjalan jauh membelakangi, aku tidak lagi punya sandaran. Aku kehilangan tempat untuk berkeluh kesah, menangis atau mengadu bahwa dunia ini begitu jahat.

Bayanganmu bahkan tak bisa kugapai.
Sungguh miris ketika melihat kita yang sekarang, dulu pernah sedekat nadi, sekarang jauh bagai bumi matahari. Aku terlalu bergantung pada pundak itu, aku lupa bahwa sebenarnya aku juga bisa berdiri sendiri, menguatkan kakiku sendiri. Aku lupa bahwa yang datang juga bisa pergi. Meski terlihat begitu kuat menggenggam, akhirnya bisa melepas juga. Tak pernanh ada yang benar-benar tinggal.
Aku kira aku sudah sangat beruntung memiliki kamu yang tak terlihat akan meninggalkan, yang terlihat akan terus tinggal tak peduli tentang apa yang akan terjadi. Aku pikir kamu siap melewati segala hal bersamaku, termasuk rasa bosan yang senang hinggap. 

Tapi, tidak. Kamu menyerah lebih dulu. Kamu berhenti menggenggam, kamu berhenti berjalan beriringan denganku. Kamu berbelok pada persimpangan, padahal aku memilih jalan lurus.
Kita tidak lagi saling tatap, tubuh kita tidak saling berhadapan. Tapi, aku menatapmu. Kakiku kian melemas, tubuhku dingin, lidahku kelu, tanganku gemetar. Aku belum siap perihal perpisahan. Aku belum siap sendiri tanpa kamu yang setelah sekian lama berada di sisi.

Aku belum mau mendengar “Selamat Tinggal”.

Kamu bahkan tidak lagi menoleh ke belakang saat meninggalkanku, kamu tidak menyempatkan melihat apa aku baik-baik saja? Kamu bahkan tidak menenangkan badai yang kau buat tiba-tiba.

Aku kehilangan setengah duniaku. Aku kehilanganmu.

Comments

Popular posts from this blog

Sudah Habis Masanya

Peraduan

Pantas Bahagia