Posts

Showing posts from February, 2019

Peraduan

Ada hal yang menyakiti jiwa disatu hari, kemudian setapak demi setapak menghantarkan sepasang kaki berdiri di hadapan. Mengulurkan tangan dan berkata “aku akan menyembuhkan”. “Bagaimana bisa?” “Aku akan memberimu kebahagiaan.” Aku sudah lelah dengan kebahagiaan yang kian lama berubah makna menjadi sebuah kesakitan. Terlalu banyak di luar sana bibir yang berucap sebuah bahagia nyatanya menyuguhkan lara.   Lantas bagaimana bisa aku mempercayai jika disayat berulang kali? “Jangan datang, aku sudah cukup sengsara.” “Aku yang nanti akan mencabutnya.” Aku sudah muak mencoba meyakini seseorang yang berjanji membawa kesenangan yang sejati. Yang nyatanya hanya menyakiti. Aku sudah terlalu lama terbohongi dengan tipu daya yang mereka miliki. Menuntun pada sebuah keramaian yang berujung sepi. Lalu bagaimana bisa seseorang benar-benar mengakhiri? Hingga disatu hari yang lain, ada tempat di mana menangis dengan terisak tidak lagi harus membatin. Ada tempat di mana berkeluh kesa...

Ada Saatnya

Kamu yang datang menghidupkan harapanku. Kamu bilang kita akan pergi menuju ruang tanpa kehampaan dan aku percaya. Hingga akhirnya aku benar-benar merasa terisi oleh titik-titik bahagia pada genggamanmu. Hati yang dipenuhi lara, tidak lagi gugur. Yang bernamakan bahagia itu kini membuatnya kembali bersemi, memberi warna, membawa terang. Lalu kemudian aku tahu ternyata mereka punya masa. Pada suatu hari kamu pergi entah kemana, tanpa menyisakan jejak. Hening dalam sekejap. Nyatanya kamu yang menggiringku pada kekosongan. Meninggalkanku pada ruang yang tak lagi terjamah. Menyisakan luka-luka yang tadinya sembuh kini kembali menganga. Aku telanjur terjebak pada sebuah rasa. Dijerat dalam rindu. Terkukung oleh ketulusan. Kamu pergi dan aku (masih) menanti. Aku dibodohi. Aku tahu. Setelah dihidupkan dengan seribu makna, aku ditinggalkan dengan sejuta luka. Tapi, sayang sekali, yang kamu tinggalkan dan kamu harap lekas mati itu nyatanya tak pernah hilang nyawa. Masih hidup dan ...

Bungkam

Aku bukannya tidak lagi menoleh ke arahmu. Aku bukannya tidak lagi berusaha mendengar suaramu. Aku bukannya tidak lagi peduli. Aku masih. Aku bukannya tidak lagi mau bertemu dan membebaskan beban rindu. Aku mau. Tapi, bukan sekarang. Aku tahu atas segala yang kamu kicaukan. Tentang bagaimana kamu merasa diabaikan. Tentang bagaimana kamu merasa hampa setelah tidak lagi denganku. Tentang bagaimana kamu masih menyukaiku. Aku tahu. Hanya saja aku memilih diam. Tidak kutulis “aku juga merindukanmu” di kolom chat. Tidak kubalas pesan-pesanmu. Tidak kuangkat tiap kali ponselku berdering dan tertera namamu di sana. Aku memilih bungkam. Bungkam atas perasaan yang masih hidup dalam dada. Aku bukannya benci karena masih menyayangimu. Aku benci pada diriku sendiri yang tiap kali berada di sisimu hanya bisa mengundang luka. meski berkali-kali kamu bilang semua baik-baik saja, setengah dariku hancur tak bersisa. Menyamakan dua kepala tak semudah yang dikira. Kau dan aku sedang ti...