Bantu Aku?
Kan aku sudah berpesan, jangan peluk aku dengan banyak bentuk harapan jika nanti kamu lepas tanpa aba-aba. Dengar, kecewa itu menyesakkan. Apalagi aku terbiasa diam, membungkam diri sendiri dari rasa ingin teriak memaki-maki kamu yang seenak hati melakukan ini dan itu. Aku juga mau jadi seenaknya, tapi ternyata menjaga perasaanmu jadi nomor satu untukku. Aku takut menyakiti hingga aku selalu terbiasa menjaga kalimatku. Aku takut menyinggung hingga aku selalu berpikir berkali-kali untuk melakukan suatu hal. Iya, salahku memang karena dengan sadar memelihara luka padahal lebih baik diungkapkan, kan? Hei, kamu tidak sadar ya kalau telingamu itu terlalu tuli untuk mendengar dengan seksama keluhan-keluhanku? Otakmu itu terlalu sibuk memikirkan hal lain daripada memikirkan aku lebih dalam. Tidak penting menurutmu. Lalu aku yang bodoh ini tetap berusaha berdiri dengan tegap dan tegak bersamamu meski sesekali merasa lelah, ingin berhenti. Ingin...