Bisa?
Lucunya jadi aku adalah rela duduk manis di ruang gelap, menangis tersedu sendirian lantas menyumpah serapahi diri sendiri. Padahal bukan aku yang jadi penyebabnya.
Coba tebak aku sedang merasa sedih perihal apa? Kamu tahu? Tentu tidak.
Mungkin iya, aku terlihat begitu sehat luar biasa. Senyumku juga masih kamu lihat seperti biasa. Tawaku juga masih lebar, tapi pernah merasa kalau itu terdengar sumbang? Tidak, sudah pasti.
Dengar, ah, bukan. Baca ini.
Aku mungkin memang jadi satu-satunya yang ada tanpa pernah melonggarkan genggamanku. Masih sama eratnya. Mungkin juga aku satu-satunya yang sedikit meracau perihal hidupmu, semua terlihat damai, tenang, aman dan bahagia.
Mungkin begitu.
Tapi, bukan berarti aku tidak pernah terbakar kekecewaan. Pernah, tapi dengan baiknya aku simpan diam-diam dalam kotak yang biasa diberi nama kesabaran.
Dari pada membuat telingamu pengang, aku lebih baik bermonolog ria di depan cermin. Menyalahkan cerminanku di sana kenapa jadi begitu lemah, bodoh, dan terlalu baik.
Tapi, lagi-lagi kamu mengalahkan segalanya. Aku bahkan tetap membelamu, kukatakan semua akan baik-baik saja. Bohong.
Sudah jelas tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain merapalkan doa untukmu. Aku bahkan tidak tega berucap buruk soal kamu tiap kali berdoa.
Jadi, bisa kan? Membuka sedikit celah agar dapat mendengarkan aku yang memaki diri sendiri demi membiarkanmu tetap terlihat baik di mataku atau mendengar segala bentuk protes yang terbungkam rapi ini. Bisa kan?
Comments
Post a Comment