Posts

Kita

Kita adalah dua asing yang sengaja dipertemukan Tuhan untuk sebuah kisah Kita adalah anak manusia yang dituliskan Tuhan untuk jadi saling Kita adalah dua insan yang kemudian memutuskan untuk mengikat perasaan masing-masing Yang sama-sama menjatuhkan rasa pada yang teramat dalam Mencipta tawa disetiap pergantian detik Menumbuhkan rindu disela jarak Kerap menginginkan peluk pada tiap temu Kita adalah dua dibalik lagu-lagu romantis Kita adalah sepasang yang merasa dibahagiakan langit Yang mendamba langit cerah dimasa depan Hingga pada akhirnya, Kita adalah yang berusaha menyatukan patah-patah yang ada Yang berdiri pada yang mulai runtuh Yang berusaha saling menyelamatkan Kemudian, Yang patah tetaplah patah Yang runtuh tetaplah runtuh Yang berusaha diselamatkan harus dengan rela hati mati Mati dihujani rindu Mati ditenggelamkan rasa yang tak berujung, terutama aku Kita adalah dua yang pernah saling tapi melepas dan jadi asing

Asing

Akan lebih baik berpisah kemudian saling melupa dengan tidak lagi bertemu. Tidak usah repot-repot berpura-pura. Tidak usah repot-repot mengasingkan diri hanya karena canggung oleh keadaan. Segalanya terasa jauh lebih berat jika aku harus pura-pura tidak melihat sosokmu padahal dulu sosok itu tempat menuai rindu. Pura-pura tidak pernah mendengar suaramu padahal dulu suara itu yang mereda gundah. Tidak lagi bertegur sapa seperti kita tidak pernah membungkam dunia dengan bahagia yang kita punya. Kau tahu betapa susahnya berlagak selayaknya benar-benar asing? Ketika wangi parfum yang biasa melekat pada tubuhmu tercium, aku harus pura-pura tidak ada kamu di sekitarku. Tapi, diam-diam tatap mataku masih mencarimu di tengah tubuh-tubuh yang berkerumun menutupimu. Aku bahkan tersiksa sendiri, menipu diri, menipu dunia bahwa aku sudah benar-benar bahagia dan baik-baik saja. Tidak, aku masih menginginkanmu. Masih sama besarnya seperti kita pertama mengikat janji berbagi bahagia ...

Menghapus Asa Hilang Rasa

Entah hari ini sudah hari keberapa aku mengagumimu.  Masih menempatkanmu pada urutan pertama yang aku semogakan pada ujung malam.  Tapi, aku tidak lagi menyemogakan agar kamu kembali. Aku sudah menyerah tentang hal itu. Selalu ada yang hilang dan berganti. Kamu menghilang dan aku sudah terganti. Aku pun harus berdiri tegak, berjalan, dan mencari tempat pulangku yang baru.  Menunggumu tak pernah disesali, tapi kalau sia-sia dan kepulanganmu tak benar-benar nyata adanya? Percuma saja.  Aku bahkan tidak tahu apa yang kamu rasa saat tahu aku menunggu? Atau lebih baik tak usah tahu apapun. Sudah terlalu lama aku mengiyakan luka, memelihara dalam dada. Sudah waktunya aku melambaikan tangan dengan benar dan ikhlas, membalas perpisahan yang kamu lakukan sejak lama. Menghapus asa yang terpupuk terlalu lama, tumbuh terlalu tinggi. Menyudahi debar-debar yang selalu ada. Langit berbisik bahwa waktunya sudah habis, aku harus terus berjalan. Tidak lag...

Lintasan Rindu

Jauh dari riuh ramai tawa yang kamu perdengarkan bersama mereka, aku sedang sendiri menikmati sunyi. Ada kamu diantara hal-hal yang aku pikirkan. Rindu yang terbenam perlahan terbit. Melintas diantara rasa yang ingin kulupa mati-matian. Di bawah lampu itu kita pernah beradu tatap, Di tengah keramaian itu kita pernah berbagi tawa, Di sepanjang jalan itu kita pernah bersama membunuh waktu. Ingin rasanya aku pergi menjauh dari kota ini. Pergi ke sudut lainnya yang tidak lagi ada kamu. Otakku terkungkung kenangan-kenangan tanpa tepi. Setiap sudut kota yang aku lalui ada bayangmu di sana seraya melambaikan tangan,  tersenyum. Kita pernah menatap bintang yang sama, di tengah hamparan rumput basah yang luas. Pernah mengudarakan doa bersama disela-sela sujud. Kita pernah bermandikan hujan dan menggigil. Dulu, ada khawatir yang terjalin kala berjauhan. Ada gusar yang tak berkesudahan. Di tengah lelap orang lain, pernah ada kita yang berucap akan saling membahagiakan. Me...

Ada Aku

Tak masalah jika pada peluknya kau temukan tawa. Pada senyumnya kau temukan hangat. Pada caranya menatap kau temukan damaimu. Tidak masalah jika ia membawakanmu seonggok bahagia. Tapi, ia tidak menjanjikan bahagia selamanya seperti yang aku katakan padamu dulu. Nanti saat telinganya tidak lagi mendengar dengan baik keluh kesah yang kau buat di tengah hari-harinya, aku siap menjadi telinga tanpa merasa bising dengan itu. Nanti saat kamu terpuruk dan jatuh, aku siap memapah jika ia tak mampu bertahan pada susah bersamamu. Nanti saat kamu dilukai dan merasa ingin mati, aku siap kembali menyembuhkan luka-luka yang ia tinggalkan. Datanglah, ada aku. Ada pelukku ditiap badai dalam hatimu yang ingin ditenangkan.

Kamu, Pergi

Hari-hari setelah kepergianmu terasa selalu sama. Kelam, sepi, hampa. Setelah punggung yang dulu selalu melindungiku kini berjalan jauh membelakangi, aku tidak lagi punya sandaran. Aku kehilangan tempat untuk berkeluh kesah, menangis atau mengadu bahwa dunia ini begitu jahat. Bayanganmu bahkan tak bisa kugapai. Sungguh miris ketika melihat kita yang sekarang, dulu pernah sedekat nadi, sekarang jauh bagai bumi matahari. Aku terlalu bergantung pada pundak itu, aku lupa bahwa sebenarnya aku juga bisa berdiri sendiri, menguatkan kakiku sendiri. Aku lupa bahwa yang datang juga bisa pergi. Meski terlihat begitu kuat menggenggam, akhirnya bisa melepas juga. Tak pernanh ada yang benar-benar tinggal. Aku kira aku sudah sangat beruntung memiliki kamu yang tak terlihat akan meninggalkan, yang terlihat akan terus tinggal tak peduli tentang apa yang akan terjadi. Aku pikir kamu siap melewati segala hal bersamaku, termasuk rasa bosan yang senang hinggap.  Tapi, tidak. Kamu menyer...

Belum Menerima Selamat Tinggal

Pada langkah yang semakin menjauh. Pada punggung yang semakin membelakangi. Dan, peluk yang kini tak bertuan. Diri yang dulu begitu didamba wujudnya, hadirnya kini menghilang disapu waktu. Melangkah menjauhi aku yang kemudian terpaku tanpa kata. Dirundung mendung. Hujan deras membasahi pipi yang tadinya merah merona dibuai sanjung. Padahal kita sudah memupuk harap, membangun mimpi. Lantas aku bisa apa? Yang menyadarkan ada bahagia di depan sana, kini menelantarkan harap. Mana bisa aku membangunnya sendirian? Aku pikir kamu hanya perlu pergi sebentar, kemudian kembali dengan mimpi baru, tentang kita. Tapi, bukan. Kamu memang berhenti mengejarnya denganku. Melepas genggam. Padahal kini kamu sudah jauh. Tidak lagi bisa kugapai. Peluk ini mengambang, berdebu. Tapi, aku masih saja menatap lekat. Aku belum bisa menerima selamat tinggal. Mungkin itu sebab aku masih di sini, berdiri menunggu kepulangan yang tak kunjung jadi nyata.