Aku, Kau dan Keegoisanmu
Aku tidak
jarang mengalah tiap kali kita berbeda pendapat, sejujurnya aku terlalu lelah
untuk terus menarik otot-otot rahangku demi membalas segala ocehanmu itu.
Aku juga tidak jarang memilih diam dan bersikap cenderung tidak peduli untuk beberapa
waktu, berpikir bahwa dengan seperti itu aku tidak perlu terus
menghawatirkanmu. membuatmu mengerti perihal titik jenuh yang acap kali menyelubungi hati.
Hai,Tuan. Harus
berapa lama lagi aku bertahan pada situasi yang membuatku pening kepala ini?
Kamu
bilang aku merepotkan karena terus meributkan hal-hal yang tak masuk akal, yang
selalu mencemaskan hal-hal yang tak perlu. Yang selalu kekanak-kanakan. Ada
banyak hal yang tidak kamu tahu, bahkan jika kuberitahu pun kamu tidak akan
mengerti. Akan
selalu saja ada gejolak penolakan setelah mendengar hal-hal yang berusaha aku
sampaikan. Kita sesering itu menjadi dua manusia yang berbeda jalan pikiran.
Kamu
bilang segala yang aku khawatirkan itu bukanlah hal yang harus dipikirkan
dalam-dalam. Bagaimana
bisa?
Saat
hal-hal itu menusuk dada dan menjerat pikiranku dalam-dalam, bagaimana bisa aku
mengabaikan? Ah, tentu saja, kamu kan tidak ikut merasakan, jadi pantas saja
kamu bilang begitu. Benar, kan?
Kau itu hanya takut untuk mengakui kesalahanmu, kau takut mengetahui bahwa kau memang satu-satunya tersangka atas segala persoalan yang kita punya.
Benar,
tentu bukan hanya kau yang bisa membuat kesalahan, aku juga bisa. Tapi, seberapa banyak kamu
menyadari kesalahanmu? Seberapa sering kau mau mengakuinya? Atau mau terus bertindak seperti pengecut dengan selalu
mengkambing hitamkan kalimat “tidak sengaja”?
Daripada
merasa bersyukur atas adanya aku di sampingmu, kamu malah sibuk mencari alasan
bagaimana cepat-cepat meninggalkanku. Apakah bersamaku begitu membosankan?
Sampai-sampai bertahan denganku sedikit lebih lama saja kamu tidak bisa?
Comments
Post a Comment