Pudar

Benar, aku berhasil perihal melupakanmu.

Telingaku samar-samar dengar derap langkah sebelum akhirnya kudengar pintu diketuk.
Senyummu masih sama, menghangatkan. Masih sama cerahnya. Pernah jadi kesukaanku. 
Baumu masih sama, menenangkan.
Kau pun masih sama. Secerah itu dan segelap itu diwaktu yang bersamaan.

Jadi, tentang pertanyaan,  
‘bisa kita kembali?’ jawabannya; tidak. Aku pikir aku perlu menghargai peluh dari kerja kerasku (melupakanmu). 
Terlena berulang kali bukan hal yang patut aku banggakan tiap kembali dalam dekap yang sama. 

Ada yang memudar seiring angin menerpa halus  sekujur badan.
Ada yang luntur bersamaan dengan hujan yang jatuh ke bumi. 

Aku secinta itu padamu, dulu.
Masih sama. Sekarang aku juga secinta itu.
Tapi, bukan padamu melainkan pada diriku. 

Kau mengerti kan kalau detik pada jam itu sudah berputar miliaran kali semenjak kau pergi?
Kau mengerti kan kalau matahari dan bulan sudah ribuan kali berganti tempat? 
Kau tahu kan kalau aku sudah berjuang melupakanmu selama itu?

Aku patut bangga, kan? Seperti seharusnya.

Semua sudah pudar. Mencoba menerka hanya melelahkan perasaan. Hanya akan menghantarkan pada situasi rumit yang memuakkan.

Kembali? silakan. Kubukakan pintu. Tapi, jangan tinggal, aku sudah bukan rumahmu.

Comments

Popular posts from this blog

Peraduan

Pantas Bahagia

Aku Akan