Candu Pada yang Berlalu

Aku sudah menghirup kehidupan dari beberapa tahun lalu dengan panca indera yang tak cacat.

Tapi, di satu hari; sesuatu menghambat panca inderaku. Tapi, aku senang.
Pengelihatanku serasa tersihir sosokmu yang berdiri tegap dengan sorot mata jenaka serta lengkung senyum manismu. Aku terpaku; berdiri diam menatap punggung gagah yang menghilang dikeramaian. 

Pendengaranku tentu baik-baik saja, tapi tiap kali deru suaramu ada, aku mendadak tuli begitu saja. Aku tidak tahu mereka bicara apa, yang kutau hanyalah kau  yang tertawa. Cuma suara milikmu yang selalu terasa memanjakan telinga.

Aku yang diam-diam menitip harap pada sang semesta, semoga kelak jemarimu mengisi sela-sela pada jemariku; lenganmu yang merangkul tubuhku; atau bibirmu yang nanti mengecup dahiku. Ku-amin-kan pada tiap penghujung malam. 

Aku berharap Tuhan mengerti, detak jantungku meraung tiap kali kau bersenandung.

Aku mencintaimu pelan-pelan, berharap berakhir jadi peraduan. Aku jatuh padamu sesederhana itu. Aku mengagumimu dengan semenakjubkan itu. Boleh kubilang bahwa aku telah jatuh padamu? Menyuarakan tanpa terasa kelu.

Boleh. Mereka bilang aku boleh.

Tapi, kamu pergi. Aku rasanya mau mati. 

Kalau aku tahu akan begini, aku berharap tak pernah mengiyai gejolak yang seakan tak tahu diri. Aku lupa bahwa yang punya rasa hanya aku seorang diri wajar saja kalau kau lari. Aku bukan bagian dari mimpi yang kau sebut setiap hari. 

Kau berlalu, menjadi candu. Aku rindu, tapi kau tak akan mau tahu.

Comments

Popular posts from this blog

Peraduan

Pantas Bahagia

Aku Akan