Nanar
Pada lembaran kertas yang tercabik bersama dengan rasa benci, kesal, kecewa dan keputus asaan, dibuang jauh-jauh sembari merutuki langit, kenapa dada tak pernah bisa terhindar dari rasa sesak?
Kuhabiskan banyak hari, milyaran menit, jutaan jam.
Baru saja kuucap syukur, penjara busuk itu berhasil kutinggalkan. Udara bebas kuhirup penuh kemenangan.
Kuudarakan tawa tanpa sedikit pun celah untuk luka kembali ada. Kubuat setiap detik menjadi yang paling berwarna. Kugandeng segala bentuk bahagia.
Lalu,
Kamu kembali.
Setahuku aku sudah siap untuk penolakan. Aku sudah siap mendorongmu jauh-jauh tanpa sedikit pun keraguan. Setahuku aku sudah jauh lebih kuat.
Kamu bilang menyesal, kamu bilang semuanya salah. Dan kamu berulang kali memohon ampunan atas duka yang kamu tinggalkan. Kamu bilang aku satu-satunya yang ada.
Lagi-lagi aku lemah. Aku malah lupa cara bilang ‘tidak’. Padahal sudah kuyakini aku bukan lagi orang yang sama, yang kamu beri duka ditiap deru nafasnya. Yang kamu biarkan menangis tersedu disepanjang malam. Yang kamu katai cinta, tapi kamu lukai.
Maaf-maaf yang tak pernah kudengar setelah bertahun-tahun menembus pertahanan, luluh segala rasa benci yang kutumbuhkan agar aku lupa betapa bajingannya luka yang menggerogoti jiwa.
Rasa sesal yang baru kulihat sejak ratusan kali dilukai membuat semua kelam berubah jadi sepercik cahaya semu. Menggoda logika bahwa iblis licik yang kutahui itu kamu kini berubah jadi satu yang hilang arah, tersesat mencari jalan pulang akibat angkuhnya sendiri. Kemudian kamu bilang, itu aku. Rumahmu.
Aku kira aku kuat, aku kira aku terlampau waras untuk berhenti menggilai seseorang sepertimu. Aku pikir aku sudah berpindah. Nyatanya sama saja.
Bibirku ucap ‘iya’, mengabulkan permohonanmu. Memaafkan kesalahanmu. Melukai perasaanku sendiri,
“Bodoh kamu! Katanya kuat, cuma segini kokohnya tembok yang kamu bangun itu? Lemah! Munafik!”
Pusing kepalaku tiap kali logika bertabrakan dengan perasaan.
Kalau nantinya ini lagi-lagi berakhir pada sebuah kesalahan.
Lagi, lagi dan lagi aku mohon ampun pada diriku sendiri. Sekali lagi.
Comments
Post a Comment