Posts

Sudah Habis Masanya

Kita habis diujung senja. Berhenti pada satu titik gelap paling dibenci sekian lama. Berdiri pada akhir dari yang sudah-sudah, yang dilewati ribuan cerita.   Kita tertawa selagi menatap semburat jingga bertabrakan pada langit yang mulai gelap. Rambut hitam legammu tertiup angin lalu matamu menyipit seketika. Kupikir bulan sabit hanya akan bertengger pada langit malam, nyatanya pada sepasang matamu pun ia ada.  Itu dulu.  Sudah habis masanya.  Semua rona bahagia luntur selagi langkah kita tak lagi sejajar dan searah. Titik-titik penghubung mimpi di masa depan lenyap selagi genggam tangan melonggar. Semua hanya akan jadi bayang-bayang semu yang terputar tidak sengaja kala nanti rindu menghantam isi kepala, menyumbat habis oksigen dalam raga.  Dunia terus berputar, nanti akan tiba saat di mana langkah kita lagi-lagi dipertemukan, tatap kita yang abu-abu saling bertabrakan.  Mana kalimat yang mungkin akan kau dan aku pilih sebagai pemanis di tengah getir? ...

Bantu Aku?

Kan aku sudah berpesan, jangan peluk aku dengan banyak bentuk harapan jika nanti kamu lepas tanpa aba-aba.  Dengar, kecewa itu menyesakkan. Apalagi aku terbiasa diam, membungkam diri sendiri dari rasa ingin teriak memaki-maki kamu yang seenak hati melakukan ini dan itu.  Aku juga mau jadi seenaknya, tapi ternyata menjaga perasaanmu jadi nomor satu untukku. Aku takut menyakiti hingga aku selalu terbiasa menjaga kalimatku. Aku takut menyinggung hingga aku selalu berpikir berkali-kali untuk melakukan suatu hal.  Iya, salahku memang karena dengan sadar memelihara luka padahal lebih baik diungkapkan, kan?  Hei, kamu tidak sadar ya kalau telingamu itu terlalu tuli untuk mendengar dengan seksama keluhan-keluhanku? Otakmu itu terlalu sibuk memikirkan hal lain daripada memikirkan aku lebih dalam. Tidak penting menurutmu.  Lalu aku yang bodoh ini tetap berusaha berdiri dengan tegap dan tegak bersamamu meski sesekali merasa lelah, ingin berhenti. Ingin...

Bisa?

Lucunya jadi aku adalah rela duduk manis di ruang gelap, menangis tersedu sendirian lantas menyumpah serapahi diri sendiri. Padahal bukan aku yang jadi penyebabnya.  Coba tebak aku sedang merasa sedih perihal apa? Kamu tahu? Tentu tidak.  Mungkin iya, aku terlihat begitu sehat luar biasa. Senyumku juga masih kamu lihat seperti biasa. Tawaku juga masih lebar, tapi pernah merasa kalau itu terdengar sumbang? Tidak, sudah pasti.  Dengar, ah, bukan. Baca ini.  Aku mungkin memang jadi satu-satunya yang ada tanpa pernah melonggarkan genggamanku. Masih sama eratnya. Mungkin juga aku satu-satunya yang sedikit meracau perihal hidupmu, semua terlihat damai, tenang, aman dan bahagia.  Mungkin begitu.  Tapi, bukan berarti aku tidak pernah terbakar kekecewaan. Pernah, tapi dengan baiknya aku simpan diam-diam dalam kotak yang biasa diberi nama kesabaran.  Dari pada membuat telingamu pengang, aku lebih baik bermonolog ria di depan cermin....

Kita. Jauh.

Tahu tidak? Tiap embun menempel di kaca jendela, yang baunya menelusup sampai dalam kamarku, yang dinginnya memelukku dikala subuh, saat itu aku juga memelukmu, lewat doa. Aku merangkul erat kepingan cerita yang ada tiap kali kuhitung langkahmu jadi semakin jauh. Belum sampai aku pada tahap di mana bisa merasakan jadi milik satu sama lain seutuhnya, kamu lebih dulu menegaskan bahwa ‘kita’ yang sering kubangga-banggakan sebenarnya adalah fana.  Makin tipis atensimu, makin tebal kerinduanku.  Aku ini bodoh soal melupakan. Mana bisa aku begitu saja membakar habis semuanya? Susah. Yang ada malah aku yang terbakar habis oleh rasa sesal karena terlambat menahanmu.  Harapan-harapan yang selama ini kutumbuhkan pada pot kecil yang kuberi nama hati, yang kuharap akan tumbuh tinggi dan berbuah, pada akhirnya dipaksa mati dan dibiarkan busuk.  Mau ditunggu ribuan tahun pun sepertinya tidak akan lagi kutemui sebuah kedatangan.  Terlanjur jauh kamu pe...

Nanar

Pada lembaran kertas yang tercabik bersama dengan rasa benci, kesal, kecewa dan keputus asaan, dibuang jauh-jauh sembari merutuki langit, kenapa dada tak pernah bisa terhindar dari rasa sesak?  Kuhabiskan banyak hari, milyaran menit, jutaan jam. Baru saja kuucap syukur, penjara busuk itu berhasil kutinggalkan. Udara bebas kuhirup penuh kemenangan. Kuudarakan tawa tanpa sedikit pun celah untuk luka kembali ada. Kubuat setiap detik menjadi yang paling berwarna. Kugandeng segala bentuk bahagia.  Lalu,  Kamu kembali.  Setahuku aku sudah siap untuk penolakan. Aku sudah siap mendorongmu jauh-jauh tanpa sedikit pun keraguan. Setahuku aku sudah jauh lebih kuat.  Kamu bilang menyesal, kamu bilang semuanya salah. Dan kamu berulang kali memohon ampunan atas duka yang kamu tinggalkan. Kamu bilang aku satu-satunya yang ada. Lagi-lagi aku lemah. Aku malah lupa cara bilang ‘tidak’. Padahal sudah kuyakini aku bukan lagi orang yang sama, yang kamu be...

Selamat Datang

Di tengah sunyi; suara deburan ombak menghantam batu karang; bisik air laut yang kulempari batu. Aku sendiri, duduk terpaku. Seperti yang sudah-sudah, yang biasa terjadi, yang berulang kali aku alami—ditinggalkan.  Aku baik-baik saja.  Terbiasa hanya dijadikan tempat singgah, mencurahkan kesalnya jiwa pada dunia, teman berbagi tawa, tempat menggantung asa, lantas puncaknya; pergi begitu saja. Sekali lagi, aku baik-baik saja meski berulang kali harus menelan rasa kecewa.  Lalu,  Aku kira, kamu datang dengan menjadi yang tak jauh beda. Kukira kamu datang dengan afeksi penuh dusta.  Maaf, aku sudah berburuk sangka.  Selamat datang! Kurapikan seluruh isi jiwa, menata sedemikian rupa agar kelak kamu menetap lantas tak lagi meninggalkan duka seperti mereka.  Maaf, isi hatiku masih abu-abu, boleh aku minta setitik warna yang biasa kau sebut ‘bahagia’? Aku janji, suatu hari seluruh afeksi hanya akan jadi milikmu demi me...

Lupa

Padahal ini sudah ‘maaf’ yang ke-1000 kali, lebih malah.  Sudah janji yang kesekian, tapi kamu lupa. Kamu lupa aku jutaan kali memaafkan. Memaklumi luka. Mewajarkan derita. Aku cinta, tapi kamu lupa. Harus selembut apa lagi aku agar kamu ingat aku juga manusia? Harus sekuat apa lagi aku agar kamu mengerti aku hancur sampai mengakar dalam hati? Apa menunggu aku mati lalu kamu menyadari aku salah satu yang berarti? Bagaimana dengan janji perihal merajut mimpi? Membangun  cita tinggi-tinggi. Kamu lupa bahwa tiap kali dipecundangi dunia, aku selalu ada. Kamu menangis tersedu, aku menawarkan bahu. Kamu lupa mencintaiku seperti awal kita berjumpa dulu. Kalau memang kita tidak lagi dalam kapal yang sama, biarkan aku menepi pada dermaga di depan sana. Dari pada terus bersama, tapi kamu terus mengundang penumpang yang lainnya. Tenang saja, aku masih yang lapang dada memaafkan.tidak pernah mau meninggalkan setitik dendam pada rasa. Tiap kali kamu lupa, kutinggalkan koma, ...