Posts

Peraduan

Ada hal yang menyakiti jiwa disatu hari, kemudian setapak demi setapak menghantarkan sepasang kaki berdiri di hadapan. Mengulurkan tangan dan berkata “aku akan menyembuhkan”. “Bagaimana bisa?” “Aku akan memberimu kebahagiaan.” Aku sudah lelah dengan kebahagiaan yang kian lama berubah makna menjadi sebuah kesakitan. Terlalu banyak di luar sana bibir yang berucap sebuah bahagia nyatanya menyuguhkan lara.   Lantas bagaimana bisa aku mempercayai jika disayat berulang kali? “Jangan datang, aku sudah cukup sengsara.” “Aku yang nanti akan mencabutnya.” Aku sudah muak mencoba meyakini seseorang yang berjanji membawa kesenangan yang sejati. Yang nyatanya hanya menyakiti. Aku sudah terlalu lama terbohongi dengan tipu daya yang mereka miliki. Menuntun pada sebuah keramaian yang berujung sepi. Lalu bagaimana bisa seseorang benar-benar mengakhiri? Hingga disatu hari yang lain, ada tempat di mana menangis dengan terisak tidak lagi harus membatin. Ada tempat di mana berkeluh kesa...

Ada Saatnya

Kamu yang datang menghidupkan harapanku. Kamu bilang kita akan pergi menuju ruang tanpa kehampaan dan aku percaya. Hingga akhirnya aku benar-benar merasa terisi oleh titik-titik bahagia pada genggamanmu. Hati yang dipenuhi lara, tidak lagi gugur. Yang bernamakan bahagia itu kini membuatnya kembali bersemi, memberi warna, membawa terang. Lalu kemudian aku tahu ternyata mereka punya masa. Pada suatu hari kamu pergi entah kemana, tanpa menyisakan jejak. Hening dalam sekejap. Nyatanya kamu yang menggiringku pada kekosongan. Meninggalkanku pada ruang yang tak lagi terjamah. Menyisakan luka-luka yang tadinya sembuh kini kembali menganga. Aku telanjur terjebak pada sebuah rasa. Dijerat dalam rindu. Terkukung oleh ketulusan. Kamu pergi dan aku (masih) menanti. Aku dibodohi. Aku tahu. Setelah dihidupkan dengan seribu makna, aku ditinggalkan dengan sejuta luka. Tapi, sayang sekali, yang kamu tinggalkan dan kamu harap lekas mati itu nyatanya tak pernah hilang nyawa. Masih hidup dan ...

Bungkam

Aku bukannya tidak lagi menoleh ke arahmu. Aku bukannya tidak lagi berusaha mendengar suaramu. Aku bukannya tidak lagi peduli. Aku masih. Aku bukannya tidak lagi mau bertemu dan membebaskan beban rindu. Aku mau. Tapi, bukan sekarang. Aku tahu atas segala yang kamu kicaukan. Tentang bagaimana kamu merasa diabaikan. Tentang bagaimana kamu merasa hampa setelah tidak lagi denganku. Tentang bagaimana kamu masih menyukaiku. Aku tahu. Hanya saja aku memilih diam. Tidak kutulis “aku juga merindukanmu” di kolom chat. Tidak kubalas pesan-pesanmu. Tidak kuangkat tiap kali ponselku berdering dan tertera namamu di sana. Aku memilih bungkam. Bungkam atas perasaan yang masih hidup dalam dada. Aku bukannya benci karena masih menyayangimu. Aku benci pada diriku sendiri yang tiap kali berada di sisimu hanya bisa mengundang luka. meski berkali-kali kamu bilang semua baik-baik saja, setengah dariku hancur tak bersisa. Menyamakan dua kepala tak semudah yang dikira. Kau dan aku sedang ti...

Memulai Lagi

Aku sudah di sini sejak terakhir kali kamu bilang cinta.  Bahkan sebelum itu. Berteman dengan angin yang berhembus, panas yang terik dan dingin yang menusuk.  Aku masih di sini, pada titik temu yang sudah lama tidak lagi kau datangi.  Benar, aku menyukaimu.  Setidaknya sampai beberapa saat lalu. Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk kembali memulai apa-apa yang sudah lama aku abaikan. Memulai langkah-langkah yang tak pernah kuambil. Memulai bernafas dengan benar setelah sekian lama didera sesak karena terlalu menyukai seseorang yang telah lama mati ditelan bumi. Benar, aku masih menyukai. Setidaknya sampai akhirnya seseorang membangunkanku dari segala kebodohan karena terlelap dalam harapan bahwa kamu kembali suatu hari. Sebelum akhirnya aku terbangun dan menyadari kau sudah lama pergi. Sudah seharusnya memulai lagi. Menyiapkan hati untuk seseorang singgahi. Perihal waktu yang sudah kulewati untuk bertahan pada satu hati, aku tidak ...

Tidak Untuk Kali Ini

Teruntuk kamu yang sedang berusaha masuk ke dalam hati, yang dengan sengaja mengetuk pintunya berulang kali. Maaf, sepertinya pintuku belum mau dan tidak akan terbuka untukmu. Tidak untuk kali ini. Masih ada yang belum sempat aku selesaikan, terutama perihal rasa. Sebagian masih tertambat pada hal dimasa lalu dan sebagian lagi sedang sangat menikmati sebuah kesendirian. Kupikir belum waktunya untuk menyilakanmu masuk saat seluruhnya terasa berantakan. Maaf, karena membuat segala yang kamu lakukan terasa percuma dan buang-buang waktu. Perihal kamu yang katanya mampu menyembuhkan, kupikir aku masih mau menikmati sakit-sakit ini sedikit lebih lama. Membiarkan diriku sendiri yang menyembuhkan luka-luka bekas ditinggalkan, daripada membiarkanmu yang menyembuhkan. Karena aku tidak pernah yakin akan ada seseorang yang bisa menyembuhkan selain aku sendiri. Aku sudah terlanjur akrab dengan luka-luka ini. Kalau nanti ternyata kamu gagal menyembuhkan, aku tidak mau bert...

Pengakuan

Dengan sadar aku mengakui hal-hal yang menurutmu sudah mati dimakan waktu.  Mengakui hal-hal yang sudah terlalu basi untuk lagi-lagi dibicarakan.  Tapi, aku tidak pernah menyesali pengakuan yang mungkin beberapa orang anggap benar-benar membuang harga diri. Terlihat mengemis rasa pada yang sudah tak lagi merasa. Menyedihkan. Memang. Tapi, kupikir tidak pernah salah untuk mengakui bahwa yang aku rasa memang masih sama adanya. Aku bukannya sengaja memeliharanya untuk terus hidup dalam dada, yang sebenarnya adalah tanpa sadar aku tidak pernah benar-benar menenggelamkannya sampai karam. Kubiarkan waktu yang mengambil alih, yang kupikir akan segera menghilang, nyatanya masih mengapung-apung di atas segala kenangan. Masih terlalu banyak untuk cepat dimusnahkan, layaknya buih ombak. Pengakuan yang mungkin terasa tidak penting itu, bukan untuk menarikmu pada genggamku lagi. Bukan untuk mengajakmu mencoba menuliskan cerita berdua lagi. Kita sudah selesai. Aku...

Bagian dari Inderamu

Bertahun-tahun sudah bersama, kemudian waktu membawa kita pada penghujung yang  sebenarnya tidak pernah kuingin. Kita seakan mati dibunuh keadaan, tidak bisa menolak paksaannya untuk berpisah. Sedang aku tak punya kekuatan untuk terus menahan langkahmu yang semakin jauh. Guliran-guliran waktu yang hanya kita sisakan jejak tanpa bisa mengulangnya itu, semoga selalu kamu simpan baik-baik. Sebaik kamu pernah menjaga suatu hubungan denganku agar tak begitu saja retak, meski pada akhirnya tidak hanya retak tapi hancur tak bersisa.  Ingin rasanya aku jadi bagian dari inderamu. Bagaimana rasanya matamu menatapku saat  tiba-tiba melihatku di tengah keramaian atau di tengah kesunyian? Apakah sebuah tatapan nanar? Atau tatapan penuh cinta seperti halnya dulu kamu menatapku? Bagaimana rasanya telingamu mendengar namaku setelah sekian lama aku menyepikan diri dari hiruk pikuk duniamu? Bagaimana rasanya hatimu saat lagi-lagi aku masuk dalam semestamu? Apakah akan teta...