Posts

Lupa

Padahal ini sudah ‘maaf’ yang ke-1000 kali, lebih malah.  Sudah janji yang kesekian, tapi kamu lupa. Kamu lupa aku jutaan kali memaafkan. Memaklumi luka. Mewajarkan derita. Aku cinta, tapi kamu lupa. Harus selembut apa lagi aku agar kamu ingat aku juga manusia? Harus sekuat apa lagi aku agar kamu mengerti aku hancur sampai mengakar dalam hati? Apa menunggu aku mati lalu kamu menyadari aku salah satu yang berarti? Bagaimana dengan janji perihal merajut mimpi? Membangun  cita tinggi-tinggi. Kamu lupa bahwa tiap kali dipecundangi dunia, aku selalu ada. Kamu menangis tersedu, aku menawarkan bahu. Kamu lupa mencintaiku seperti awal kita berjumpa dulu. Kalau memang kita tidak lagi dalam kapal yang sama, biarkan aku menepi pada dermaga di depan sana. Dari pada terus bersama, tapi kamu terus mengundang penumpang yang lainnya. Tenang saja, aku masih yang lapang dada memaafkan.tidak pernah mau meninggalkan setitik dendam pada rasa. Tiap kali kamu lupa, kutinggalkan koma, ...

Candu Pada yang Berlalu

Aku sudah menghirup kehidupan dari beberapa tahun lalu dengan panca indera yang tak cacat. Tapi, di satu hari; sesuatu menghambat panca inderaku. Tapi, aku senang. Pengelihatanku serasa tersihir sosokmu yang berdiri tegap dengan sorot mata jenaka serta lengkung senyum manismu. Aku terpaku; berdiri diam menatap punggung gagah yang menghilang dikeramaian.  Pendengaranku tentu baik-baik saja, tapi tiap kali deru suaramu ada, aku mendadak tuli begitu saja. Aku tidak tahu mereka bicara apa, yang kutau hanyalah kau    yang tertawa. Cuma suara milikmu yang selalu terasa memanjakan telinga. Aku yang diam-diam menitip harap pada sang semesta, semoga kelak jemarimu mengisi sela-sela pada jemariku; lenganmu yang merangkul tubuhku; atau bibirmu yang nanti mengecup dahiku. Ku-amin-kan pada tiap penghujung malam.  Aku berharap Tuhan mengerti, detak jantungku meraung tiap kali kau bersenandung. Aku mencintaimu pelan-pelan, berharap berakhir jadi peraduan. Aku...

Rumah?

Untuk kesekian kali aku berhenti pada ujung jalan yang sama. Kembali mengistirahatkan kaki pada peraduan yang lama. Aku kembali. Kuucap ‘hai’ pada dirimu yang katanya sudah lama menanti. ‘Apa kabar?’  Lalu; ‘Sudah lebih baik saat kau kembali’ Padahal kupercayai bahwa hati ini sudah jauh pergi. Sudah menemukan yang lain lagi. Membawa asa pada yang penuh ambisi membahagiakan hati. Nyatanya, itu kamu lagi.  Rumah?  Bisa kupanggil seperti itu kah? Mau berpikir soal jodoh, terlalu jauh. Umurmu, umurku masih bisa saja terikat pada rasa jenuh yang kapan pun dapat menyergap sekujur tubuh lantas membiarkan benih-benih mimpi setinggi langit itu terjatuh. Mari berdoa semoga Tuhan tak bertitah perihal berpisah. Semoga segala perintah tak berujung pada susah yang sudah-sudah. Kalau nanti langkah kaki berbeda lagi, kalau nanti hati bergejolak lagi, kalau nanti mimpi memudar lagi, mari berdoa semoga kesadaran tak pernah mati sebab semesta telah menguji...

Rapuh

Aku bisa membeli apa saja dengan uang.  Rumah mewah, emas berbatang-batang, mobil. Apa saja. Aku kaya.  Aku bisa tertawa lepas tanpa kendali di depan kalian. Menertawakan semesta yang berupaya membuatku menjadi sosok paling konyol di dunia. Bagaimana tidak? Aku manusia yang menggunakan topeng berlapis-lapis demi menyamakan tingkat dengan kalian.  Aku ini sendirian. Seramai-ramainya gelak tawa keluar masuk telinga, sejujurnya aku tuli. Aku tuli atas jeritan diri sendiri. Aku muak tapi memaksa. Hancur yang di dalam perlahan-lahan.  Saking banyaknya topeng, tak pernah satu pun dari kalian bertanya ‘apa semua baik-baik saja?’. Apa kalian tidak pernah dengar bahwa yang paling nyaring tertawa adalah yang paling merana?  Tentu tidak semua. Tapi, aku iya.  Aku hidup di tengah jutaan manusia, tapi tak satupun memeluk dengan tulus. Aku kaya, tapi tetap saja kebahagiaan itu tak ternilai.  Rumah mewah tidak menjadikanku berada pada tem...

Pudar

Benar, aku berhasil perihal melupakanmu. Telingaku samar-samar dengar derap langkah sebelum akhirnya kudengar pintu diketuk. Senyummu masih sama, menghangatkan. Masih sama cerahnya. Pernah jadi kesukaanku.  Baumu masih sama, menenangkan. Kau pun masih sama. Secerah itu dan segelap itu diwaktu yang bersamaan. Jadi, tentang pertanyaan,   ‘bisa kita kembali?’ jawabannya; tidak. Aku pikir aku perlu menghargai peluh dari kerja kerasku (melupakanmu).  Terlena berulang kali bukan hal yang patut aku banggakan tiap kembali dalam dekap yang sama.  Ada yang memudar seiring angin menerpa halus    sekujur badan. Ada yang luntur bersamaan dengan hujan yang jatuh ke bumi.  Aku secinta itu padamu, dulu. Masih sama. Sekarang aku juga secinta itu. Tapi, bukan padamu melainkan pada diriku.  Kau mengerti kan kalau detik pada jam itu sudah berputar miliaran kali semenjak kau pergi? Kau mengerti kan kalau matahari dan bulan sudah ...

Aku, Kau dan Keegoisanmu

Aku tidak jarang mengalah tiap kali kita berbeda pendapat, sejujurnya aku terlalu lelah untuk terus menarik otot-otot rahangku demi membalas segala ocehanmu itu. Aku juga tidak jarang memilih diam dan bersikap cenderung tidak peduli untuk beberapa waktu, berpikir bahwa dengan seperti itu aku tidak perlu terus menghawatirkanmu. membuatmu mengerti perihal titik jenuh yang acap kali menyelubungi hati.  Hai,Tuan.  Harus berapa lama lagi aku bertahan pada situasi yang membuatku pening kepala ini? Kamu bilang aku merepotkan karena terus meributkan hal-hal yang tak masuk akal, yang selalu mencemaskan hal-hal yang tak perlu. Yang selalu kekanak-kanakan.  Ada banyak hal yang tidak kamu tahu, bahkan jika kuberitahu pun kamu tidak akan mengerti.  Akan selalu saja ada gejolak penolakan setelah mendengar hal-hal yang berusaha aku sampaikan.  Kita sesering itu menjadi dua manusia yang berbeda jalan pikiran. Kamu bilang segala yang aku khawatirkan itu bukanla...

Pantas Bahagia

Aku tahu sudah seberapa lelah kakimu itu berlari. Meninggalkan hal-hal yang selalu saja meremas jiwa sedikit demi sedikit lantas menjadikanmu seseorang yang mulai gila. Kau merasa kehilangan sandaranmu, kehilangan peganganmu. Dirinya adalah hal yang teramat kau cintai hingga ketika ia menghilang, rasanya seperti tercabut hingga ke akar, meninggalkan jejak berlubang, lebar, jeru, dan gelap. Kau terlalu sibuk mencintainya tanpa pernah mencintai diri sendiri.  Tidak, sandaranmu akan selalu ada, peganganmu juga. Bukan pada dirinya, tapi pada dirimu sendiri.  Jangan lupakan betapa kuat kakimu menopang tubuh lunglaimu selama ini. Memangnya kenapa jika ditinggalkan? Bukan berarti kau adalah salah satu sampah baru dalam kehidupannya, tidak seharusnya kau terpuruk sedemikian rupa, merasa gagal menjadi sesuatu yang berharga untuknya.  Kau berharga. Jauh lebih berharga dari apa yang benaknya pernah terka tentangmu. Ditinggalkan berarti kau punya ribuan kesemp...