Posts

Showing posts from December, 2018

Bagian dari Inderamu

Bertahun-tahun sudah bersama, kemudian waktu membawa kita pada penghujung yang  sebenarnya tidak pernah kuingin. Kita seakan mati dibunuh keadaan, tidak bisa menolak paksaannya untuk berpisah. Sedang aku tak punya kekuatan untuk terus menahan langkahmu yang semakin jauh. Guliran-guliran waktu yang hanya kita sisakan jejak tanpa bisa mengulangnya itu, semoga selalu kamu simpan baik-baik. Sebaik kamu pernah menjaga suatu hubungan denganku agar tak begitu saja retak, meski pada akhirnya tidak hanya retak tapi hancur tak bersisa.  Ingin rasanya aku jadi bagian dari inderamu. Bagaimana rasanya matamu menatapku saat  tiba-tiba melihatku di tengah keramaian atau di tengah kesunyian? Apakah sebuah tatapan nanar? Atau tatapan penuh cinta seperti halnya dulu kamu menatapku? Bagaimana rasanya telingamu mendengar namaku setelah sekian lama aku menyepikan diri dari hiruk pikuk duniamu? Bagaimana rasanya hatimu saat lagi-lagi aku masuk dalam semestamu? Apakah akan teta...

Bersimpuh Pada Luka

Seperti sudah kalah telak, Aku tidak bisa menjatuhkan sebuah duka yang terus berdiri tegap hidup dalam jiwa Tertunduk aku dibuatnya, gemetar  tubuh tak pernah henti, dibuat takut setengah mati Kenapa luka-luka itu semakin menganga dan terasa mengerikan? Terbuka lebar lantas melahap habis bahagia Kamu tinggalkan luka-luka itu tanpa tanggung jawab Yang kita rasa sebuah kenangan manis kini musnah tanpa makna Tanpa sedikit firasat akan sebuah perpisahan, aku hilang arah dalam bungah Pada tiap langkah yang kita pilih, kupikir kau mau pun aku tak akan mengubah haluan Tetap menapaki setumpuk mimpi yang kita angankan pada awalnya Lalu sekarang, aku hanya bisa duduk membisu, membeku Bersimpuh pada kesedihan karena kamu tinggalkan Senyum yang pernah mengembang sudah dikalahkan oleh segala duka yang mengundang tangis Menyadari sebuah hati yang kini tak berpemilik, mati tanpa rasa pada akhirnya

Bagaimana Bisa

Memangnya sesalah apa jika aku meminta sebuah perhatian? Kamu lelakiku, kan? Kenapa selalu merasa aku repotkan? Bukannya wajar saja kalau aku ingin menjadi hal yang selalu kamu perhatikan? Bagaimana mungkin seseorang sepertiku yang selalu menanti kepulanganmu, menuruti segala inginmu, bersabar atas ledakan-ledakanmu, yang terus berusaha menyamai langkah meski kau terus saja mempercepat langkah, untuk sekedar meminta waktu bersama seakan sudah meminta seluruh isi semesta? Aku tidak seserakah itu, sayang Setelah sekian lama bersabar dalam kesendirian, apa aku tidak boleh meminta sebuah kebersamaan yang sudah seharusnya aku dapatkan tanpa perlu meminta?  Apakah setia yang selalu coba kutunjukkan tak lantas membuatmu membuka mata bahwa aku ada? Lalu, bagaimana bisa kau kukuh menyebut dirimu sendiri sebagai lelakiku jika tidak satupun buram hariku bisa kubagi denganmu? Bagaimana bisa? 

Jika Memang Bukan

Sejak genggaman itu merenggang, aku tidak tahu bagaimana cara merekatkan. Bagaimana cara menyatukan yang tidak lagi melekat? Berulang kali dihantui rasa takut kehilangan, berulang kali pula kamu meyakinkan. “aku di sini,” katamu. Tapi, waktu yang terus berputar, meninggalkan tiap detiknya, nyatanya membuatmu tidak lagi di sini. Pergi ke mana? Apakah dengan bersamaku kau merasa sesak? Apakah dengan berdampingan denganku kau merasa dirantai sampai terus-terusan berusaha pergi tanpa meninggalkan jejak? Jika seburuk itu untuk terus memijakkan kaki disampingku, aku rela kau tinggal sendiri. Tapi, tidak bisakah berpamitan? Kenapa juga harus meninggalkan kesan suram penuh duka? Padahal kita mulai dengan sinar terang kebahagiaan. Jika memang kita bukan lagi dua orang yang sedang dimanjakan semesta atas sebuah rasa, silakan. Silakan melangkah jauh sejauh yang kamu mau. Aku masih di sini. Setidaknya sebelum yakin yang kupercayai belum berubah menjadi buih dan hilang disapu waktu...

Titik

Semakin lama semakin aku tahu bahwa setiap semoga yang aku titipkan pada Tuhan yang menyisipkan namamu itu tak akan pernah berubah jadi nyata. Semakin hari semakin menyadari bahwa apa yang dinanti memang benar-benar sudah mati Hati yang setengah-setengah merelakan sekarang kuharap sudah benar-benar rela Cukup dan sudah lama menaruh harap Meyakini akan direngkuh lagi dan lagi seperti sebelumnya Sudah. Berkali-kali Tuhan mengingatkan bahwa penantian sudah sampai pada ujungnya Tapi, betapa tololnya aku yang masih memaksa berdiri dan terus menatap pada arah yang bahkan ada bayanganmu saja tidak. Kosong. betapa polosnya aku dengan terus mempercayai kata "Aku Kembali" pada suatu hari yang entah kapan. Berapa lama lagi? seminggu? satu bulan? atau satu tahun? Atau bahkan bertahun-tahun? Bisikan Tuhan yang terlalu sering aku abaikan. Telingaku mendadak tuli untuk mendengar kata "berhenti".  Berkali-kali Tuhan mengingatkan bahwa yang kuanggap separuh ak...

Seluka Itu

Aku sudah melewati dunia hari demi hari, bulan demi bulan. Tapi, aku masih saja perempuan yang mencintaimu sedalam yang pernah, mengagumimu tanpa pernah mengenal titik. Masih menempatkanmu pada awalan doaku pada Tuhan. Masih merindukanmu dalam diam. Aku seluka itu, tapi aku juga secinta itu.        Padahal kamu sudah begitu bahagia di luar sana, selalu diiringi tawa pada tiap hembus napasmu. Tidak sepertiku, yang setengah mati meloloskan diri dari sengsara yang terasa mencekik leher akibat ulahmu waktu itu. Kata orang aku bodoh. Memang. Luka-luka yang kau   tinggalkan saja masih terasa basah, tapi kenapa aku masih tidak bisa melupakan rasa? Kenapa tidak ikut mati bersama perasaanmu padaku? Kenapa masih hidup subur dalam diriku? Kenapa aku masih terjebak dalam masa lalu? Terjebak dalam rasa yang kau pancing untuk hidup tiga tahun lalu. Menimbulkan trauma-trauma berlebihan padaku. Aku menutup hati untuk setiap mereka yang mencoba mengetuk, untuk mencoba me...