Seluka Itu


Aku sudah melewati dunia hari demi hari, bulan demi bulan. Tapi, aku masih saja perempuan yang mencintaimu sedalam yang pernah, mengagumimu tanpa pernah mengenal titik. Masih menempatkanmu pada awalan doaku pada Tuhan. Masih merindukanmu dalam diam. Aku seluka itu, tapi aku juga secinta itu.

       Padahal kamu sudah begitu bahagia di luar sana, selalu diiringi tawa pada tiap hembus napasmu. Tidak sepertiku, yang setengah mati meloloskan diri dari sengsara yang terasa mencekik leher akibat ulahmu waktu itu. Kata orang aku bodoh. Memang. Luka-luka yang kau  tinggalkan saja masih terasa basah, tapi kenapa aku masih tidak bisa melupakan rasa? Kenapa tidak ikut mati bersama perasaanmu padaku? Kenapa masih hidup subur dalam diriku? Kenapa aku masih terjebak dalam masa lalu? Terjebak dalam rasa yang kau pancing untuk hidup tiga tahun lalu.

Menimbulkan trauma-trauma berlebihan padaku. Aku menutup hati untuk setiap mereka yang mencoba mengetuk, untuk mencoba mempersilakan masuk saja aku enggan. Lama-lama aku terbiasa mati rasa untuk lagi-lagi merasa jatuh cinta. Kubiarkan kosong begitu saja.

Lagu-lagu yang sering kau perdengarkan pada telingaku, sama memuakannya denganmu. Alunan nadanya tak pernah gagal menghidupkan kembali rasa yang kukubur paksa. Membuka luka lama, yang sebenarnya tidak pernah berhasil tertutup dengan tepat. Aku berusaha berhenti menenggelamkan diriku sendiri pada kenangan hitam tentangmu. Menutup telinga tiap kali lagu-lagu  sendu itu bersenandung.  

Luka-luka yang kau tinggalkan, masih berumur panjang untuk terus menggerogoti bahagia yang seharusnya sudah kugenggam sejak bertahun-tahun lalu. Hanya karena gagal menyembuhkan patah hati, aku jadi membenarkan segala pedih yang masih berdiam diri dan enggan mati.

Comments

Popular posts from this blog

Peraduan

Pantas Bahagia

Aku Akan