Posts

Terima Kasih

Untukku, terima kasih karena telah bertahan untuk sekian lama dalam sepi-sepi yang mengikat jiwa. Terima kasih karena telah bersabar atas segala kecewa yang terasa, karena telah bertahan pada satu keadaan di mana segala rindu harus terkungkung rapat dan menyesakkan. Terima Kasih karena selalu mencoba kuat. Tertatih yang biasa dirasa, kini tidak lagi. Aku bisa berjalan dengan sangat baik, setelah sekian lama merasa pincang karena separuh dariku menghilang. Yang terus merasa tak pernah seimbang, merasa tidak pernah utuh. Tidak lagi, aku menemukan hal-hal yang bisa mengisi kosong yang kau buat dalam relung jiwaku selama ini. Ada hal-hal yang ternyata bisa menggantikan ketidak hadiranmu. Bukannya aku menemukan pengganti yang bisa kusebut rumah seperti aku menyebutmu sebelumnya, hanya saja aku merasa bahwa aku memang tidak seharusnya menganggapmu rumah ketika aku bisa menjadikan diriku sendiri rumah bagiku. Rindu-rindu itu sudah menguap meski belum pernah kuungkapkan padamu. R...

Aku Akan

Tadi aku tidak sengaja melihatmu, sedang berada di tengah kerumunan orang. Kudengar samar kalian sedang beradu tawa. Tapi, aku tidak melihat secercah senyum di wajahmu apalagi gelak tawa. Hilang ke mana? Apakah ada seseorang yang berani mecuri senyum itu dari wajahmu? Siapa? Bilang padaku! Aku dulu seringkali merutuki diriku sendiri jika membuatmu terlihat begitu tersiksa. Berusaha setengah mati membuatmu tetap bahagia. Sekarang, siapa yang berani-beraninya membuatmu menekuk mukamu begitu? Membuat wajahmu terlihat masam? Apakah mereka sedang menutup rapat-rapat telinganya untukmu? Sehingga kamu tidak lagi mampu berbagi hal yang menusuk dadamu? Apakah mereka sedang berusaha bungkam padamu? Sehingga kamu tidak tahu harus apa saat tersesat seperti sekarang? Apa kamu sedang benar-benar hilang arah? Sedalam apa kamu terjatuh kali ini sampai tidak bisa menapakkan kakimu sendiri di atas bumi? Sehebat apa rasa sakitmu sampai kamu tidak   mampu lagi untuk menangis? Seberat apa b...

#3 - Aku Sudah Selesai

Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk terus bertahan pada sebuah rasa untuk seorang manusia. Aku sudah membiarkan ribuan bahkan jutaan detik berlalu begitu saja untuk menunggumu. Seseorang yang bahkan tak pernah lagi berniat untuk   kembali. Hanya karena terbiasa bersama, aku jadi merasa kalau bukan kamu semua akan terasa biasa saja. Semua akan terasa tidak semenakjubkan saat denganmu. Hingga segalanya kututup dengan rapat. Segalanya kusimpan dengan sempurna. Segalanya kubiarkan tetap hidup, selayaknya kita yang pernah mencipta. Padahal ‘kita’ saja sudah lama mati. Sebangga itu aku pernah bersama. Aku menunggu, diam-diam mendoakan, diam-diam memperhatikan, diam-diam berharap Tuhan masih mau menyisakan sedikit waktu untukku dan kamu sekali lagi. Konyol! Aku begitu bodoh, kan? Sudah tahu bahwa ceritanya telah ditamatkan, tapi masih saja berusaha menyambungkan. Meski tidak terdengar, aku tahu mereka di luar sana sedang berbisik “menyedihkan”. Tentu, aku tahu. Atau kamu...

#2

Aku bahkan bingung harus memulai dari mana dan bagaimana. Apa kabar? Tentangmu, aku belum sempat memastikan apa aku sudah sampai pada titik terakhir penantianku atau belum. Aku belum sempat menyelesaikan apa-apa yang seharusnya sudah kuselesaikan layaknya yang kamu lakukan. Setidaknya aku sudah ribuan kali menyadarkan diri bahwa kamu sudah tidak lagi di sini. Tidak ada lagi hati yang merekah saat aku kembali menunjukkan diri disatu hari. Melihatmu tertawa di satu meja bersama mereka membuatku merasa lega, ternyata sudah ada mereka yang kini menjaga tawamu. Kupikir kamu sudah jauh lebih menikmati dan mencintai hidupmu.   Akan ada banyak bahu yang siap menjadi sandaranmu kelak saat kamu tidak lagi kuat mengangkat kepalamu. Ada tempat untukmu untuk menyembunyikan isak tangis dalam dekapan mereka nanti. Aku lega. tidak ada lagi hal yang harus aku khawatirkan. Terlalu banyak hal yang aku tuliskan atas namamu. Ingatan-ingatan perihal kita yang pernah bersama yang bersandi...

Peraduan

Ada hal yang menyakiti jiwa disatu hari, kemudian setapak demi setapak menghantarkan sepasang kaki berdiri di hadapan. Mengulurkan tangan dan berkata “aku akan menyembuhkan”. “Bagaimana bisa?” “Aku akan memberimu kebahagiaan.” Aku sudah lelah dengan kebahagiaan yang kian lama berubah makna menjadi sebuah kesakitan. Terlalu banyak di luar sana bibir yang berucap sebuah bahagia nyatanya menyuguhkan lara.   Lantas bagaimana bisa aku mempercayai jika disayat berulang kali? “Jangan datang, aku sudah cukup sengsara.” “Aku yang nanti akan mencabutnya.” Aku sudah muak mencoba meyakini seseorang yang berjanji membawa kesenangan yang sejati. Yang nyatanya hanya menyakiti. Aku sudah terlalu lama terbohongi dengan tipu daya yang mereka miliki. Menuntun pada sebuah keramaian yang berujung sepi. Lalu bagaimana bisa seseorang benar-benar mengakhiri? Hingga disatu hari yang lain, ada tempat di mana menangis dengan terisak tidak lagi harus membatin. Ada tempat di mana berkeluh kesa...

Ada Saatnya

Kamu yang datang menghidupkan harapanku. Kamu bilang kita akan pergi menuju ruang tanpa kehampaan dan aku percaya. Hingga akhirnya aku benar-benar merasa terisi oleh titik-titik bahagia pada genggamanmu. Hati yang dipenuhi lara, tidak lagi gugur. Yang bernamakan bahagia itu kini membuatnya kembali bersemi, memberi warna, membawa terang. Lalu kemudian aku tahu ternyata mereka punya masa. Pada suatu hari kamu pergi entah kemana, tanpa menyisakan jejak. Hening dalam sekejap. Nyatanya kamu yang menggiringku pada kekosongan. Meninggalkanku pada ruang yang tak lagi terjamah. Menyisakan luka-luka yang tadinya sembuh kini kembali menganga. Aku telanjur terjebak pada sebuah rasa. Dijerat dalam rindu. Terkukung oleh ketulusan. Kamu pergi dan aku (masih) menanti. Aku dibodohi. Aku tahu. Setelah dihidupkan dengan seribu makna, aku ditinggalkan dengan sejuta luka. Tapi, sayang sekali, yang kamu tinggalkan dan kamu harap lekas mati itu nyatanya tak pernah hilang nyawa. Masih hidup dan ...

Bungkam

Aku bukannya tidak lagi menoleh ke arahmu. Aku bukannya tidak lagi berusaha mendengar suaramu. Aku bukannya tidak lagi peduli. Aku masih. Aku bukannya tidak lagi mau bertemu dan membebaskan beban rindu. Aku mau. Tapi, bukan sekarang. Aku tahu atas segala yang kamu kicaukan. Tentang bagaimana kamu merasa diabaikan. Tentang bagaimana kamu merasa hampa setelah tidak lagi denganku. Tentang bagaimana kamu masih menyukaiku. Aku tahu. Hanya saja aku memilih diam. Tidak kutulis “aku juga merindukanmu” di kolom chat. Tidak kubalas pesan-pesanmu. Tidak kuangkat tiap kali ponselku berdering dan tertera namamu di sana. Aku memilih bungkam. Bungkam atas perasaan yang masih hidup dalam dada. Aku bukannya benci karena masih menyayangimu. Aku benci pada diriku sendiri yang tiap kali berada di sisimu hanya bisa mengundang luka. meski berkali-kali kamu bilang semua baik-baik saja, setengah dariku hancur tak bersisa. Menyamakan dua kepala tak semudah yang dikira. Kau dan aku sedang ti...