Posts

Kita. Jauh.

Tahu tidak? Tiap embun menempel di kaca jendela, yang baunya menelusup sampai dalam kamarku, yang dinginnya memelukku dikala subuh, saat itu aku juga memelukmu, lewat doa. Aku merangkul erat kepingan cerita yang ada tiap kali kuhitung langkahmu jadi semakin jauh. Belum sampai aku pada tahap di mana bisa merasakan jadi milik satu sama lain seutuhnya, kamu lebih dulu menegaskan bahwa ‘kita’ yang sering kubangga-banggakan sebenarnya adalah fana.  Makin tipis atensimu, makin tebal kerinduanku.  Aku ini bodoh soal melupakan. Mana bisa aku begitu saja membakar habis semuanya? Susah. Yang ada malah aku yang terbakar habis oleh rasa sesal karena terlambat menahanmu.  Harapan-harapan yang selama ini kutumbuhkan pada pot kecil yang kuberi nama hati, yang kuharap akan tumbuh tinggi dan berbuah, pada akhirnya dipaksa mati dan dibiarkan busuk.  Mau ditunggu ribuan tahun pun sepertinya tidak akan lagi kutemui sebuah kedatangan.  Terlanjur jauh kamu pe...

Nanar

Pada lembaran kertas yang tercabik bersama dengan rasa benci, kesal, kecewa dan keputus asaan, dibuang jauh-jauh sembari merutuki langit, kenapa dada tak pernah bisa terhindar dari rasa sesak?  Kuhabiskan banyak hari, milyaran menit, jutaan jam. Baru saja kuucap syukur, penjara busuk itu berhasil kutinggalkan. Udara bebas kuhirup penuh kemenangan. Kuudarakan tawa tanpa sedikit pun celah untuk luka kembali ada. Kubuat setiap detik menjadi yang paling berwarna. Kugandeng segala bentuk bahagia.  Lalu,  Kamu kembali.  Setahuku aku sudah siap untuk penolakan. Aku sudah siap mendorongmu jauh-jauh tanpa sedikit pun keraguan. Setahuku aku sudah jauh lebih kuat.  Kamu bilang menyesal, kamu bilang semuanya salah. Dan kamu berulang kali memohon ampunan atas duka yang kamu tinggalkan. Kamu bilang aku satu-satunya yang ada. Lagi-lagi aku lemah. Aku malah lupa cara bilang ‘tidak’. Padahal sudah kuyakini aku bukan lagi orang yang sama, yang kamu be...

Selamat Datang

Di tengah sunyi; suara deburan ombak menghantam batu karang; bisik air laut yang kulempari batu. Aku sendiri, duduk terpaku. Seperti yang sudah-sudah, yang biasa terjadi, yang berulang kali aku alami—ditinggalkan.  Aku baik-baik saja.  Terbiasa hanya dijadikan tempat singgah, mencurahkan kesalnya jiwa pada dunia, teman berbagi tawa, tempat menggantung asa, lantas puncaknya; pergi begitu saja. Sekali lagi, aku baik-baik saja meski berulang kali harus menelan rasa kecewa.  Lalu,  Aku kira, kamu datang dengan menjadi yang tak jauh beda. Kukira kamu datang dengan afeksi penuh dusta.  Maaf, aku sudah berburuk sangka.  Selamat datang! Kurapikan seluruh isi jiwa, menata sedemikian rupa agar kelak kamu menetap lantas tak lagi meninggalkan duka seperti mereka.  Maaf, isi hatiku masih abu-abu, boleh aku minta setitik warna yang biasa kau sebut ‘bahagia’? Aku janji, suatu hari seluruh afeksi hanya akan jadi milikmu demi me...

Lupa

Padahal ini sudah ‘maaf’ yang ke-1000 kali, lebih malah.  Sudah janji yang kesekian, tapi kamu lupa. Kamu lupa aku jutaan kali memaafkan. Memaklumi luka. Mewajarkan derita. Aku cinta, tapi kamu lupa. Harus selembut apa lagi aku agar kamu ingat aku juga manusia? Harus sekuat apa lagi aku agar kamu mengerti aku hancur sampai mengakar dalam hati? Apa menunggu aku mati lalu kamu menyadari aku salah satu yang berarti? Bagaimana dengan janji perihal merajut mimpi? Membangun  cita tinggi-tinggi. Kamu lupa bahwa tiap kali dipecundangi dunia, aku selalu ada. Kamu menangis tersedu, aku menawarkan bahu. Kamu lupa mencintaiku seperti awal kita berjumpa dulu. Kalau memang kita tidak lagi dalam kapal yang sama, biarkan aku menepi pada dermaga di depan sana. Dari pada terus bersama, tapi kamu terus mengundang penumpang yang lainnya. Tenang saja, aku masih yang lapang dada memaafkan.tidak pernah mau meninggalkan setitik dendam pada rasa. Tiap kali kamu lupa, kutinggalkan koma, ...

Candu Pada yang Berlalu

Aku sudah menghirup kehidupan dari beberapa tahun lalu dengan panca indera yang tak cacat. Tapi, di satu hari; sesuatu menghambat panca inderaku. Tapi, aku senang. Pengelihatanku serasa tersihir sosokmu yang berdiri tegap dengan sorot mata jenaka serta lengkung senyum manismu. Aku terpaku; berdiri diam menatap punggung gagah yang menghilang dikeramaian.  Pendengaranku tentu baik-baik saja, tapi tiap kali deru suaramu ada, aku mendadak tuli begitu saja. Aku tidak tahu mereka bicara apa, yang kutau hanyalah kau    yang tertawa. Cuma suara milikmu yang selalu terasa memanjakan telinga. Aku yang diam-diam menitip harap pada sang semesta, semoga kelak jemarimu mengisi sela-sela pada jemariku; lenganmu yang merangkul tubuhku; atau bibirmu yang nanti mengecup dahiku. Ku-amin-kan pada tiap penghujung malam.  Aku berharap Tuhan mengerti, detak jantungku meraung tiap kali kau bersenandung. Aku mencintaimu pelan-pelan, berharap berakhir jadi peraduan. Aku...

Rumah?

Untuk kesekian kali aku berhenti pada ujung jalan yang sama. Kembali mengistirahatkan kaki pada peraduan yang lama. Aku kembali. Kuucap ‘hai’ pada dirimu yang katanya sudah lama menanti. ‘Apa kabar?’  Lalu; ‘Sudah lebih baik saat kau kembali’ Padahal kupercayai bahwa hati ini sudah jauh pergi. Sudah menemukan yang lain lagi. Membawa asa pada yang penuh ambisi membahagiakan hati. Nyatanya, itu kamu lagi.  Rumah?  Bisa kupanggil seperti itu kah? Mau berpikir soal jodoh, terlalu jauh. Umurmu, umurku masih bisa saja terikat pada rasa jenuh yang kapan pun dapat menyergap sekujur tubuh lantas membiarkan benih-benih mimpi setinggi langit itu terjatuh. Mari berdoa semoga Tuhan tak bertitah perihal berpisah. Semoga segala perintah tak berujung pada susah yang sudah-sudah. Kalau nanti langkah kaki berbeda lagi, kalau nanti hati bergejolak lagi, kalau nanti mimpi memudar lagi, mari berdoa semoga kesadaran tak pernah mati sebab semesta telah menguji...

Rapuh

Aku bisa membeli apa saja dengan uang.  Rumah mewah, emas berbatang-batang, mobil. Apa saja. Aku kaya.  Aku bisa tertawa lepas tanpa kendali di depan kalian. Menertawakan semesta yang berupaya membuatku menjadi sosok paling konyol di dunia. Bagaimana tidak? Aku manusia yang menggunakan topeng berlapis-lapis demi menyamakan tingkat dengan kalian.  Aku ini sendirian. Seramai-ramainya gelak tawa keluar masuk telinga, sejujurnya aku tuli. Aku tuli atas jeritan diri sendiri. Aku muak tapi memaksa. Hancur yang di dalam perlahan-lahan.  Saking banyaknya topeng, tak pernah satu pun dari kalian bertanya ‘apa semua baik-baik saja?’. Apa kalian tidak pernah dengar bahwa yang paling nyaring tertawa adalah yang paling merana?  Tentu tidak semua. Tapi, aku iya.  Aku hidup di tengah jutaan manusia, tapi tak satupun memeluk dengan tulus. Aku kaya, tapi tetap saja kebahagiaan itu tak ternilai.  Rumah mewah tidak menjadikanku berada pada tem...