Sudahi
Sejak detik itu, tali yang mengikat kita terputus. Dinding yang
tak pernah ada, tiba-tiba saja ada dan meninggi.
Suara kita tidak lagi beradu di tengah bising suara orang
lain. Tidak lagi terbahak pada satu lelucon lagi. Tidak berbagi senyum seperti
sebelumnya. Tidak bertukar kabar seperti biasanya.
Tidak, kita sudahi itu sejak hari itu.
Kusadari, kamu sudah jauh lebih bahagia semenjak memilih
pergi, tidak merasa diganggu atas damaimu olehku. Jauh lebih sering mencipta gelak tawa. Kamu bahagia, kan?
Kemudian aku juga tahu, kamu temukan dia yang katamu
benar-benar mengerti kamu, melebihi aku. Lebih mengasyikkan dari yang biasanya
aku usahakan. Kamu temukan perempuan yang kata mereka memang melebihi aku,
parasnya, senyum manisnya, cara bicaranya yang lembut, dan caranya menatapmu. Katanya
dia lebih daripada aku. Tahu darimana?
Apa dia tahu kamu tidak suka terlalu banyak ditanya ketika
marah? Apa dia tahu kamu tidak suka diganggu ketika tidur? Apa dia tahu kamu
tidak suka makanan manis? Apa dia tahu kalau kamu bosan kamu akan mengasingkan
diri? Aku tahu. Rasanya begitu tidak adil, kan? Aku yang bertahun-tahun ada
pada tiap susahmu, tapi dia yang dibilang lebih baik dari aku? Bahkan dia belum
selama itu untuk bisa jadi yang lebih dari aku.
Sialan!
Setahuku, kita berdua sama-sama menjatuhkan hati, sama-sama
menumbuhkan rasa pada dada masing-masing, lalu kenapa kamu cepat sekali
berbalik arah dan memilih berbeda jalan denganku? sedangkan aku seperti orang
tolol yang terdiam melihat kepergianmu. Ketika mengubur rasa terasa mudah
untukmu, sedang aku? Sampai mati-matian pun rasa itu masih teguh bersemayam
dalam dada.
Menyebalkan!
Sudahlah, memang seharusnya ini cepat-cepat disudahi, kan? Agar
tulisan-tulisan yang kamu baca ini tidak lagi berisikan tentang patah yang aku
alami setelah kita berpisah. Agar kamu tidak lagi merasa dihantui oleh rasa
bersalah kelak. Dan aku sudah tidak lagi merasa terbebani dengan rasa yang pada
akhirnya bertepuk sebelah tangan. Harusnya
memang disudahi.
Meski begitu, doa untuk bahagiamu nyatanya tak kusudahi. Aku
masih merapalkannya disela-sela ibadahku. Meski kamu sudah terasa jahat, tapi
mendoakanmu masih kulakukan. Sejahat-jahatnya kamu, kamu pernah berbagi bahagia
sebelum menyebar luka.
Dan doakan aku juga, agar berhasil menyudahi rasa. Menyusulmu
bertemu bahagia dan meninggalkan duka.
Comments
Post a Comment