Posts

Showing posts from 2018

Bagian dari Inderamu

Bertahun-tahun sudah bersama, kemudian waktu membawa kita pada penghujung yang  sebenarnya tidak pernah kuingin. Kita seakan mati dibunuh keadaan, tidak bisa menolak paksaannya untuk berpisah. Sedang aku tak punya kekuatan untuk terus menahan langkahmu yang semakin jauh. Guliran-guliran waktu yang hanya kita sisakan jejak tanpa bisa mengulangnya itu, semoga selalu kamu simpan baik-baik. Sebaik kamu pernah menjaga suatu hubungan denganku agar tak begitu saja retak, meski pada akhirnya tidak hanya retak tapi hancur tak bersisa.  Ingin rasanya aku jadi bagian dari inderamu. Bagaimana rasanya matamu menatapku saat  tiba-tiba melihatku di tengah keramaian atau di tengah kesunyian? Apakah sebuah tatapan nanar? Atau tatapan penuh cinta seperti halnya dulu kamu menatapku? Bagaimana rasanya telingamu mendengar namaku setelah sekian lama aku menyepikan diri dari hiruk pikuk duniamu? Bagaimana rasanya hatimu saat lagi-lagi aku masuk dalam semestamu? Apakah akan teta...

Bersimpuh Pada Luka

Seperti sudah kalah telak, Aku tidak bisa menjatuhkan sebuah duka yang terus berdiri tegap hidup dalam jiwa Tertunduk aku dibuatnya, gemetar  tubuh tak pernah henti, dibuat takut setengah mati Kenapa luka-luka itu semakin menganga dan terasa mengerikan? Terbuka lebar lantas melahap habis bahagia Kamu tinggalkan luka-luka itu tanpa tanggung jawab Yang kita rasa sebuah kenangan manis kini musnah tanpa makna Tanpa sedikit firasat akan sebuah perpisahan, aku hilang arah dalam bungah Pada tiap langkah yang kita pilih, kupikir kau mau pun aku tak akan mengubah haluan Tetap menapaki setumpuk mimpi yang kita angankan pada awalnya Lalu sekarang, aku hanya bisa duduk membisu, membeku Bersimpuh pada kesedihan karena kamu tinggalkan Senyum yang pernah mengembang sudah dikalahkan oleh segala duka yang mengundang tangis Menyadari sebuah hati yang kini tak berpemilik, mati tanpa rasa pada akhirnya

Bagaimana Bisa

Memangnya sesalah apa jika aku meminta sebuah perhatian? Kamu lelakiku, kan? Kenapa selalu merasa aku repotkan? Bukannya wajar saja kalau aku ingin menjadi hal yang selalu kamu perhatikan? Bagaimana mungkin seseorang sepertiku yang selalu menanti kepulanganmu, menuruti segala inginmu, bersabar atas ledakan-ledakanmu, yang terus berusaha menyamai langkah meski kau terus saja mempercepat langkah, untuk sekedar meminta waktu bersama seakan sudah meminta seluruh isi semesta? Aku tidak seserakah itu, sayang Setelah sekian lama bersabar dalam kesendirian, apa aku tidak boleh meminta sebuah kebersamaan yang sudah seharusnya aku dapatkan tanpa perlu meminta?  Apakah setia yang selalu coba kutunjukkan tak lantas membuatmu membuka mata bahwa aku ada? Lalu, bagaimana bisa kau kukuh menyebut dirimu sendiri sebagai lelakiku jika tidak satupun buram hariku bisa kubagi denganmu? Bagaimana bisa? 

Jika Memang Bukan

Sejak genggaman itu merenggang, aku tidak tahu bagaimana cara merekatkan. Bagaimana cara menyatukan yang tidak lagi melekat? Berulang kali dihantui rasa takut kehilangan, berulang kali pula kamu meyakinkan. “aku di sini,” katamu. Tapi, waktu yang terus berputar, meninggalkan tiap detiknya, nyatanya membuatmu tidak lagi di sini. Pergi ke mana? Apakah dengan bersamaku kau merasa sesak? Apakah dengan berdampingan denganku kau merasa dirantai sampai terus-terusan berusaha pergi tanpa meninggalkan jejak? Jika seburuk itu untuk terus memijakkan kaki disampingku, aku rela kau tinggal sendiri. Tapi, tidak bisakah berpamitan? Kenapa juga harus meninggalkan kesan suram penuh duka? Padahal kita mulai dengan sinar terang kebahagiaan. Jika memang kita bukan lagi dua orang yang sedang dimanjakan semesta atas sebuah rasa, silakan. Silakan melangkah jauh sejauh yang kamu mau. Aku masih di sini. Setidaknya sebelum yakin yang kupercayai belum berubah menjadi buih dan hilang disapu waktu...

Titik

Semakin lama semakin aku tahu bahwa setiap semoga yang aku titipkan pada Tuhan yang menyisipkan namamu itu tak akan pernah berubah jadi nyata. Semakin hari semakin menyadari bahwa apa yang dinanti memang benar-benar sudah mati Hati yang setengah-setengah merelakan sekarang kuharap sudah benar-benar rela Cukup dan sudah lama menaruh harap Meyakini akan direngkuh lagi dan lagi seperti sebelumnya Sudah. Berkali-kali Tuhan mengingatkan bahwa penantian sudah sampai pada ujungnya Tapi, betapa tololnya aku yang masih memaksa berdiri dan terus menatap pada arah yang bahkan ada bayanganmu saja tidak. Kosong. betapa polosnya aku dengan terus mempercayai kata "Aku Kembali" pada suatu hari yang entah kapan. Berapa lama lagi? seminggu? satu bulan? atau satu tahun? Atau bahkan bertahun-tahun? Bisikan Tuhan yang terlalu sering aku abaikan. Telingaku mendadak tuli untuk mendengar kata "berhenti".  Berkali-kali Tuhan mengingatkan bahwa yang kuanggap separuh ak...

Seluka Itu

Aku sudah melewati dunia hari demi hari, bulan demi bulan. Tapi, aku masih saja perempuan yang mencintaimu sedalam yang pernah, mengagumimu tanpa pernah mengenal titik. Masih menempatkanmu pada awalan doaku pada Tuhan. Masih merindukanmu dalam diam. Aku seluka itu, tapi aku juga secinta itu.        Padahal kamu sudah begitu bahagia di luar sana, selalu diiringi tawa pada tiap hembus napasmu. Tidak sepertiku, yang setengah mati meloloskan diri dari sengsara yang terasa mencekik leher akibat ulahmu waktu itu. Kata orang aku bodoh. Memang. Luka-luka yang kau   tinggalkan saja masih terasa basah, tapi kenapa aku masih tidak bisa melupakan rasa? Kenapa tidak ikut mati bersama perasaanmu padaku? Kenapa masih hidup subur dalam diriku? Kenapa aku masih terjebak dalam masa lalu? Terjebak dalam rasa yang kau pancing untuk hidup tiga tahun lalu. Menimbulkan trauma-trauma berlebihan padaku. Aku menutup hati untuk setiap mereka yang mencoba mengetuk, untuk mencoba me...

#1

Setidaknya aku sudah mencoba bertahan pada penantian yang sebenarnya benar-benar melelahkan. Yang selalu terus kuusahakan. Meyakini akan ada ruang untuk kembali duduk bersama menghabiskan waktu.  Mencoba menumbuhkan kepercayaan yang sempat memudar bahkan hilang dalam dirimu.  Aku tahu, bahkan kamu tidak pernah meminta sebuah penantian. Aku yang melakukannya. Kemudian aku yang mengeluh karena lelah. Kekanakan. Aku tidak menyalahkanmu atas sebuah kehampaan yang aku lewati selama menunggumu. Atau lelah-lelah yang aku rasa. Pundakku yang menanggungnya. Aku tidak akan melempar sebuah beban padamu. Aku terus menanti di atas pijakan yang tak selamanya kuat ini karena percaya kau akan menyusuri jalan setapak yang akan sampai di depanku. Seperti biasa, aku lupa bahwa perasaan tak akan seterusnya sama. Meski pernah jatuh pada yang paling dalam, bukan berarti tak bisa bangkit dan meninggalkan.  Yang pekat bukan berarti tak bisa mem...

Kita Hanya Orang Asing yang Pernah Saling

Pernah satu hari, kamu ucap janji. Menjaga apa-apa yang menurutmu membahagiakan kita. Kupikir alangkah baiknya Tuhan saat itu, membawamu sebagai penghantar bahagia yang sebenar-benarnya kala aku rasa semua   adalah semu. Tapi, tidak lagi. Aku dibangunkan dari buai-buai manis yang fana. Suatu hari, entah apa rencana Tuhan, yang kutahu langkahmu semakin menjauh. Diam-diam memilih untuk perlahan melepaskan. Disaat yang sama, aku malah menjaga kuat-kuat, jauh lebih kuat dari yang pernah. Kupikir semuanya baik-baik saja, tapi pada akhirnya aku menyadari semuanya memang sedang tidak. baik-baik saja. Kubohongi diri sendiri perihal kepergian. Meyakini sebuah kepulangan yang tak pernah ada. Pisah ini gurauan Tuhan atau memang Tuhan sedang baik padamu, dengan mengabulkan segala rencana kepergianmu? Kemudian kita benar-benar melepas ikatan yang sebelumnya kupikir tak akan lepas, sebab kau berjanji perihal sebuah bahagia. Lagi-lagi, aku tertid...

Masih Boleh?

Masih bolehkah aku? Jika aku masih menanam bibit rindu pada tiap kenangan yang terlintas layaknya bayangan? Menitipkannya di tangan Tuhan Bolehkah aku masih mengharap sebuah kepulangan? Apa aku masih boleh? Aku masih mencoba menyimpannya rapi-rapi ketika kamu sudah jauh pergi Meninggalkan banyak luka yang terasa tak bertepi Lalu aku merasa sepi pada tiap malam yang terus berlalu dengan sunyi Meratapi sungguh-sungguh pisah yang tak pernah sekalipun jadi mimpi

Pura-pura

Bertahun-tahun membiasakan diri hidup dalam gelap Jatuh sejatuhnya pada hati seseorang yang katanya ingin menetap Terang segala yang hitam tahap demi tahap  Merasa dihidupkan kembali yang selama ini mati terjerembap  Diberi nyawa bernama harap Aku hidup dalam terang yang kamu bawa Yang memberi nafas lega pada jiwa Harapku tumbuh dan besar bak dewa Kendalikan segala rasa dan logika hingga lupa bahwa ia juga bisa mati seperti halnya mereka yang bernyawa Sia-sia Semua berubah jadi bencana Yang kupikir bahagia yang sebenar-benarnya nyatanya dusta  Bagaimana bisa? Aku ditipu sedemikian rupa Ya, aku lupa Aku hidup dalam dunia yang fana Termasuk kamu yang katanya penuh renjana ternyata hanyalah nestapa

Aku Sudah

Aku sudah menjadi perempuan yang teramat bodoh karena mempertahankan perasaan dengan begitu teguh. Harap-harap dilihat kemudian digapai dan menyusuri gelap terang bersama Aku sudah menanti sampai pudar simpul senyum karna tak kunjung hadir, sampai retak segala yang didekap Aku sudah kenyang menelan kecewa Aku sudah Aku juga sudah memberitahumu bahwa aku disini, akan selalu ada. Kamu tidak kehilangan. Kamu selalu bisa menemukan. Tapi, kamu tak kunjung ada, tak kembali Aku sudah Aku sudah berhenti Lalu menyadari, sekuat apa berdiri tak mungkin selamanya kuat menanti Sesering apa berucap amin, yang dinanti tak selalu yakin Waktu terus berjalan Aku tidak lagi boleh terus menetap pada yang ingin jadi tetap Tidak, aku tidak merasa kehilangan, aku mengikhlaskan Aku sudah merelakanmu mencari hangat pada peluk yang lainnya Mencari damai pada telinga yang lainnya Mencari kasih pada hati yang lainnya Aku sudah dengan sepenuh hati memberi apa yang bisa Ak...

Untukmu, Penggantiku

Untukmu, perempuan yang laki-lakiku pilih sebagai penggantiku, selamat. Selamat karena kamu sudah dipilihnya, laki-laki yang kuanggap malaikat. Pembawa damai dan bahagia. Laki-laki yang pernah menjadi tempatku pulang, penghapus gundah, penenang jiwa dan tempatku menaruh harap. Aku begitu menjatuhkan hati dan takut kehilangan. Takut-takut semestanya tidak lagi tentang aku. Ternyata benar, semestanya berganti tentangmu.  Selagi aku masih berusaha memperbaiki, ia menemukanmu. Kamu memikat dan mengundang rasa. Bukan, bukan salahmu. Tentu perasaan punya haknya untuk memilih kemana akan berlabuh, benar kan? Selagi aku terlihat buruk dimatanya, kamu terlihat begitu bersinar baginya. Untukmu, penggantiku, Jangan ulangi apa-apa yang aku perbuat atasnya. Buat dia menjatuhkan hati padamu dalam-dalam tanpa takut dikecewakan dan takut dijerumuskan pada rasa ragu untuk menumbuhkan rasa percaya padamu. Untukmu, penggantiku, Dulu aku mengecewakannya, melupa perihal janji yang kemu...

Menipu Diri

Bahwa sebenarnya aku sedang menipu diri. Aku merasa amat baik-baik saja, sehat batin dan raga, menyunggingkan senyum tanpa memaksa, memperdengarkan tawa dengan bangga Padamu aku terlihat sebagai perempuan yang telah menyanggupi memar-memar dalam dada dan kemudian bangkit.  Padamu aku terlihat sebagai perempuan yang melupa perihal luka-luka yang pernah bersemayam, termasuk melupa perihalmu.  Ya, andai saja begitu. Andai saja benar-benar begitu. Aku menipumu, menipu pengelihatanmu, aku menipu dunia. Bahkan aku menipu diriku sendiri. Aku masih sosok yang membiarkan luka-luka itu tinggal dan memelihara duka.  Aku belum sepenuhnya bangkit dari lara yang selama ini aku nikmati, yang selama ini aku biarkan hidup setelah menyerah untuk membunuhnya.  Aku masih perempuan yang melihatmu saja masih mengundang debar-debar yang aku kenal sejak bertahun-tahun lalu. Aku menipu diri demi terlihat sama tangguhnya denganmu.

Di Balik Luka

Aku perempuan yang masih amat merasa terlukai karena seorang laki-laki Yang lukanya masih membekas. Melebar. Mengerogoti batin Yang dukanya selalu berkepanjangan Yang tangisnya tidak berkesudahan Yang berharap benci pada tiap rasa yang ada Tapi, dibalik segala luka, Aku perempuan yang mencintai dan mengasihi seorang laki-laki dengan teramat sangat sampai sekarang Yang memperhatikannya lekat-lekat dari jauh Yang menengadahkan tangan dan berucap doa, selalu. Mengharapkan selamat dan bahagia ditiap detik yang ia lewati Yang menghawatirkannya diam-diam Yang mencoba selalu ada pada tiap jatuhnya Yang masih saja menunggu padahal “usai” sudah lama terucap Dibalik segala luka, aku masih menyukaimu

Yang Dulu Tinggal

Waktu tetap berjalan, matahari tetap terbit dan tenggelam, hari terus berganti hari, berbulan-bulan dan bertahun-tahun.  Jika berpisah bukan jalan untuk menghapus asa, bukan cara untuk membunuh rasa maka biarkan mereka tenggelam ditelan masa. Jika mimpi-mimpi itu masih hidup, bunuh paksa saja. Percuma, langit tak mengijinkan mereka jadi nyata. Untukmu, Setelah genggam kita tak lagi erat, duniamu tidak lagi tentang bagaimana kisah kita akan jadi hal yang paling dirindukan setiap pejam mata. Kisah kita jadi terasa tanpa nyawa setelah membaur jadi bagian dari masa lalu.  Bayangan kita yang tersenyum, tertawa, berjalan beriringan, berlarian seakan mati. Tidak lagi berwarna, hanya hitam dan putih. Aku dengan dunia dan samar-sama masa depanku, kamu dengan segala semestamu. Jika nanti dalam semestamu tiba-tiba saja ada aku yang melintas, kemudian ada rindu yang kembali terbit, cukuplah ingat pernah ada aku sebagai tempat menuai rindu meski sekarang tidak la...

Sembunyi

Kamu tahu alasan kenapa aku memilih sembunyi setelah kita berakhir pada langkah yang tak lagi searah? Aku sedang   bertindak seperti pengecut Setelah bertahun-tahun merasa terbahagiakan.   Setelah sekian lama sama-sama berusaha menyelamatkan sebuah hubungan. Bertahan dari segala terpa angin, pada akhirnya ketika kamu memilih menyerah, aku masih saja berjuang menjaga rasa. “Bisakah kita selesaikan ini saja?,” katamu. Waktu kita habis.  Meninggalkan banyak luka. Dan merasa kecewa karena gagal membuatmu tetap bertahan adalah satu dari sekian alasan yang mungkin. Kemudian aku merasa harus menyembuhkan luka-luka itu, sendiri. Tiba-tiba saja aku rasa aku tidak lagi sanggup mendengar tawa, memandang   senyum menggemaskan dan tatap matamu yang seringkali menjadi matahari pada tiap-tiap hariku. Aku berhenti mencari tahu kabarmu, aku bersembunyi dengan segenap luka-luka yang tak kunjung sembuh. Berusaha bengkit kembali dengan tidak lagi mau menampakkan di...

Sudahi

Sejak detik itu, tali yang mengikat kita terputus. Dinding yang tak pernah ada, tiba-tiba saja ada dan meninggi. Suara kita tidak lagi beradu di tengah bising suara orang lain. Tidak lagi terbahak pada satu lelucon lagi. Tidak berbagi senyum seperti sebelumnya. Tidak bertukar kabar seperti biasanya. Tidak, kita sudahi itu sejak hari itu. Kusadari, kamu sudah jauh lebih bahagia semenjak memilih pergi, tidak merasa diganggu atas damaimu olehku. Jauh lebih sering mencipta gelak tawa. Kamu bahagia, kan? Kemudian aku juga tahu, kamu temukan dia yang katamu benar-benar mengerti kamu, melebihi aku. Lebih mengasyikkan dari yang biasanya aku usahakan. Kamu temukan perempuan yang kata mereka memang melebihi aku, parasnya, senyum manisnya, cara bicaranya yang lembut, dan caranya menatapmu. Katanya dia lebih daripada aku. Tahu darimana? Apa dia tahu kamu tidak suka terlalu banyak ditanya ketika marah? Apa dia tahu kamu tidak suka diganggu ketika tidur? Apa dia tahu kamu tidak...

Kita

Kita adalah dua asing yang sengaja dipertemukan Tuhan untuk sebuah kisah Kita adalah anak manusia yang dituliskan Tuhan untuk jadi saling Kita adalah dua insan yang kemudian memutuskan untuk mengikat perasaan masing-masing Yang sama-sama menjatuhkan rasa pada yang teramat dalam Mencipta tawa disetiap pergantian detik Menumbuhkan rindu disela jarak Kerap menginginkan peluk pada tiap temu Kita adalah dua dibalik lagu-lagu romantis Kita adalah sepasang yang merasa dibahagiakan langit Yang mendamba langit cerah dimasa depan Hingga pada akhirnya, Kita adalah yang berusaha menyatukan patah-patah yang ada Yang berdiri pada yang mulai runtuh Yang berusaha saling menyelamatkan Kemudian, Yang patah tetaplah patah Yang runtuh tetaplah runtuh Yang berusaha diselamatkan harus dengan rela hati mati Mati dihujani rindu Mati ditenggelamkan rasa yang tak berujung, terutama aku Kita adalah dua yang pernah saling tapi melepas dan jadi asing

Asing

Akan lebih baik berpisah kemudian saling melupa dengan tidak lagi bertemu. Tidak usah repot-repot berpura-pura. Tidak usah repot-repot mengasingkan diri hanya karena canggung oleh keadaan. Segalanya terasa jauh lebih berat jika aku harus pura-pura tidak melihat sosokmu padahal dulu sosok itu tempat menuai rindu. Pura-pura tidak pernah mendengar suaramu padahal dulu suara itu yang mereda gundah. Tidak lagi bertegur sapa seperti kita tidak pernah membungkam dunia dengan bahagia yang kita punya. Kau tahu betapa susahnya berlagak selayaknya benar-benar asing? Ketika wangi parfum yang biasa melekat pada tubuhmu tercium, aku harus pura-pura tidak ada kamu di sekitarku. Tapi, diam-diam tatap mataku masih mencarimu di tengah tubuh-tubuh yang berkerumun menutupimu. Aku bahkan tersiksa sendiri, menipu diri, menipu dunia bahwa aku sudah benar-benar bahagia dan baik-baik saja. Tidak, aku masih menginginkanmu. Masih sama besarnya seperti kita pertama mengikat janji berbagi bahagia ...