Posts

Showing posts from 2019

Selamat Datang

Di tengah sunyi; suara deburan ombak menghantam batu karang; bisik air laut yang kulempari batu. Aku sendiri, duduk terpaku. Seperti yang sudah-sudah, yang biasa terjadi, yang berulang kali aku alami—ditinggalkan.  Aku baik-baik saja.  Terbiasa hanya dijadikan tempat singgah, mencurahkan kesalnya jiwa pada dunia, teman berbagi tawa, tempat menggantung asa, lantas puncaknya; pergi begitu saja. Sekali lagi, aku baik-baik saja meski berulang kali harus menelan rasa kecewa.  Lalu,  Aku kira, kamu datang dengan menjadi yang tak jauh beda. Kukira kamu datang dengan afeksi penuh dusta.  Maaf, aku sudah berburuk sangka.  Selamat datang! Kurapikan seluruh isi jiwa, menata sedemikian rupa agar kelak kamu menetap lantas tak lagi meninggalkan duka seperti mereka.  Maaf, isi hatiku masih abu-abu, boleh aku minta setitik warna yang biasa kau sebut ‘bahagia’? Aku janji, suatu hari seluruh afeksi hanya akan jadi milikmu demi me...

Lupa

Padahal ini sudah ‘maaf’ yang ke-1000 kali, lebih malah.  Sudah janji yang kesekian, tapi kamu lupa. Kamu lupa aku jutaan kali memaafkan. Memaklumi luka. Mewajarkan derita. Aku cinta, tapi kamu lupa. Harus selembut apa lagi aku agar kamu ingat aku juga manusia? Harus sekuat apa lagi aku agar kamu mengerti aku hancur sampai mengakar dalam hati? Apa menunggu aku mati lalu kamu menyadari aku salah satu yang berarti? Bagaimana dengan janji perihal merajut mimpi? Membangun  cita tinggi-tinggi. Kamu lupa bahwa tiap kali dipecundangi dunia, aku selalu ada. Kamu menangis tersedu, aku menawarkan bahu. Kamu lupa mencintaiku seperti awal kita berjumpa dulu. Kalau memang kita tidak lagi dalam kapal yang sama, biarkan aku menepi pada dermaga di depan sana. Dari pada terus bersama, tapi kamu terus mengundang penumpang yang lainnya. Tenang saja, aku masih yang lapang dada memaafkan.tidak pernah mau meninggalkan setitik dendam pada rasa. Tiap kali kamu lupa, kutinggalkan koma, ...

Candu Pada yang Berlalu

Aku sudah menghirup kehidupan dari beberapa tahun lalu dengan panca indera yang tak cacat. Tapi, di satu hari; sesuatu menghambat panca inderaku. Tapi, aku senang. Pengelihatanku serasa tersihir sosokmu yang berdiri tegap dengan sorot mata jenaka serta lengkung senyum manismu. Aku terpaku; berdiri diam menatap punggung gagah yang menghilang dikeramaian.  Pendengaranku tentu baik-baik saja, tapi tiap kali deru suaramu ada, aku mendadak tuli begitu saja. Aku tidak tahu mereka bicara apa, yang kutau hanyalah kau    yang tertawa. Cuma suara milikmu yang selalu terasa memanjakan telinga. Aku yang diam-diam menitip harap pada sang semesta, semoga kelak jemarimu mengisi sela-sela pada jemariku; lenganmu yang merangkul tubuhku; atau bibirmu yang nanti mengecup dahiku. Ku-amin-kan pada tiap penghujung malam.  Aku berharap Tuhan mengerti, detak jantungku meraung tiap kali kau bersenandung. Aku mencintaimu pelan-pelan, berharap berakhir jadi peraduan. Aku...

Rumah?

Untuk kesekian kali aku berhenti pada ujung jalan yang sama. Kembali mengistirahatkan kaki pada peraduan yang lama. Aku kembali. Kuucap ‘hai’ pada dirimu yang katanya sudah lama menanti. ‘Apa kabar?’  Lalu; ‘Sudah lebih baik saat kau kembali’ Padahal kupercayai bahwa hati ini sudah jauh pergi. Sudah menemukan yang lain lagi. Membawa asa pada yang penuh ambisi membahagiakan hati. Nyatanya, itu kamu lagi.  Rumah?  Bisa kupanggil seperti itu kah? Mau berpikir soal jodoh, terlalu jauh. Umurmu, umurku masih bisa saja terikat pada rasa jenuh yang kapan pun dapat menyergap sekujur tubuh lantas membiarkan benih-benih mimpi setinggi langit itu terjatuh. Mari berdoa semoga Tuhan tak bertitah perihal berpisah. Semoga segala perintah tak berujung pada susah yang sudah-sudah. Kalau nanti langkah kaki berbeda lagi, kalau nanti hati bergejolak lagi, kalau nanti mimpi memudar lagi, mari berdoa semoga kesadaran tak pernah mati sebab semesta telah menguji...

Rapuh

Aku bisa membeli apa saja dengan uang.  Rumah mewah, emas berbatang-batang, mobil. Apa saja. Aku kaya.  Aku bisa tertawa lepas tanpa kendali di depan kalian. Menertawakan semesta yang berupaya membuatku menjadi sosok paling konyol di dunia. Bagaimana tidak? Aku manusia yang menggunakan topeng berlapis-lapis demi menyamakan tingkat dengan kalian.  Aku ini sendirian. Seramai-ramainya gelak tawa keluar masuk telinga, sejujurnya aku tuli. Aku tuli atas jeritan diri sendiri. Aku muak tapi memaksa. Hancur yang di dalam perlahan-lahan.  Saking banyaknya topeng, tak pernah satu pun dari kalian bertanya ‘apa semua baik-baik saja?’. Apa kalian tidak pernah dengar bahwa yang paling nyaring tertawa adalah yang paling merana?  Tentu tidak semua. Tapi, aku iya.  Aku hidup di tengah jutaan manusia, tapi tak satupun memeluk dengan tulus. Aku kaya, tapi tetap saja kebahagiaan itu tak ternilai.  Rumah mewah tidak menjadikanku berada pada tem...

Pudar

Benar, aku berhasil perihal melupakanmu. Telingaku samar-samar dengar derap langkah sebelum akhirnya kudengar pintu diketuk. Senyummu masih sama, menghangatkan. Masih sama cerahnya. Pernah jadi kesukaanku.  Baumu masih sama, menenangkan. Kau pun masih sama. Secerah itu dan segelap itu diwaktu yang bersamaan. Jadi, tentang pertanyaan,   ‘bisa kita kembali?’ jawabannya; tidak. Aku pikir aku perlu menghargai peluh dari kerja kerasku (melupakanmu).  Terlena berulang kali bukan hal yang patut aku banggakan tiap kembali dalam dekap yang sama.  Ada yang memudar seiring angin menerpa halus    sekujur badan. Ada yang luntur bersamaan dengan hujan yang jatuh ke bumi.  Aku secinta itu padamu, dulu. Masih sama. Sekarang aku juga secinta itu. Tapi, bukan padamu melainkan pada diriku.  Kau mengerti kan kalau detik pada jam itu sudah berputar miliaran kali semenjak kau pergi? Kau mengerti kan kalau matahari dan bulan sudah ...

Aku, Kau dan Keegoisanmu

Aku tidak jarang mengalah tiap kali kita berbeda pendapat, sejujurnya aku terlalu lelah untuk terus menarik otot-otot rahangku demi membalas segala ocehanmu itu. Aku juga tidak jarang memilih diam dan bersikap cenderung tidak peduli untuk beberapa waktu, berpikir bahwa dengan seperti itu aku tidak perlu terus menghawatirkanmu. membuatmu mengerti perihal titik jenuh yang acap kali menyelubungi hati.  Hai,Tuan.  Harus berapa lama lagi aku bertahan pada situasi yang membuatku pening kepala ini? Kamu bilang aku merepotkan karena terus meributkan hal-hal yang tak masuk akal, yang selalu mencemaskan hal-hal yang tak perlu. Yang selalu kekanak-kanakan.  Ada banyak hal yang tidak kamu tahu, bahkan jika kuberitahu pun kamu tidak akan mengerti.  Akan selalu saja ada gejolak penolakan setelah mendengar hal-hal yang berusaha aku sampaikan.  Kita sesering itu menjadi dua manusia yang berbeda jalan pikiran. Kamu bilang segala yang aku khawatirkan itu bukanla...

Pantas Bahagia

Aku tahu sudah seberapa lelah kakimu itu berlari. Meninggalkan hal-hal yang selalu saja meremas jiwa sedikit demi sedikit lantas menjadikanmu seseorang yang mulai gila. Kau merasa kehilangan sandaranmu, kehilangan peganganmu. Dirinya adalah hal yang teramat kau cintai hingga ketika ia menghilang, rasanya seperti tercabut hingga ke akar, meninggalkan jejak berlubang, lebar, jeru, dan gelap. Kau terlalu sibuk mencintainya tanpa pernah mencintai diri sendiri.  Tidak, sandaranmu akan selalu ada, peganganmu juga. Bukan pada dirinya, tapi pada dirimu sendiri.  Jangan lupakan betapa kuat kakimu menopang tubuh lunglaimu selama ini. Memangnya kenapa jika ditinggalkan? Bukan berarti kau adalah salah satu sampah baru dalam kehidupannya, tidak seharusnya kau terpuruk sedemikian rupa, merasa gagal menjadi sesuatu yang berharga untuknya.  Kau berharga. Jauh lebih berharga dari apa yang benaknya pernah terka tentangmu. Ditinggalkan berarti kau punya ribuan kesemp...

Aku Di Sini

Aku tahu suatu hari hati baikmu itu akan ada yang melukai. Mengecewakanmu tanpa aba-aba. Meninggalkan bekas yang seakan-akan tak akan pernah hilang. Melekat pada sudut hatimu. Aku tahu bagaimana nanti semesta akan menjatuhkanmu pada yang teramat buruk, seakan segala hal sudah kelewat baik untukmu. Ia pikir sudah seharusnya kau mencicipi pahitnya ditusuk tepat pada pusat jiwamu.  Aku tahu suatu hari akan ada rasa paling menyesakkan yang menghujam dadamu lantas menjadikannya sarang duka. Menumbuhkan perih yang tiba-tiba saja mampu mendorong paksa air bening yang sekian lama tak pernah menyentuh pelupuk mata, kau menangis. Aku tahu.  Aku di sini. Arahkan tungkaimu padaku, mau berlari cepat atau sekadar berjalan lambat, terserah. Kau punya tempat untuk menghambur ke arahku, menumpahkan segala hal yang menyebabkan lubang menganga pada perasaanmu.  Aku di sini.  Peluk saja, tak masalah.  Peluk seerat yang kau mau, karena aku tak akan pernah mera...

Aku Jatuh (cinta) Lagi

Jadi, bagaimana seharusnya aku menggambarkannya? Rasanya semua kelewat sukar untuk mengudarakan pada telinga orang lain. Hanya aku. Hanya aku yang tahu bagaimana menyenangkannya terjatuh.  Kali ini aku tidak menyumpah serapahi jatuh yang lagi-lagi kurasakan. Aku tidak lagi merasa remuk disekujur tubuh atau pening pada kepala. Aku malah merasa melayang ke awang-awang. Sebenarnya otakku sudah terlalu lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Jadi, ada ya jatuh yang tidak merasa sakit? Atau aku hanya melebih-lebihkannya karena terlalu larut pada kesenangan? Kuharap ini tidak semu. Karena sejujurnya aku lelah. Aku lelah menyembuhkan diri yang lukanya berulang kali tak pernah bisa menutup rapat. Aku lelah meyakinkan diri perihal bagaimana aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri, termasuk melupakan masa lalu. Kupikir segenap perasaan akan seterusnya tinggal pada satu hati yang tertuju padanya. Aku pernah mengira bahwa separuh aku adalah ia yang menyayat seluruh permukaan peras...

Terima Kasih

Untukku, terima kasih karena telah bertahan untuk sekian lama dalam sepi-sepi yang mengikat jiwa. Terima kasih karena telah bersabar atas segala kecewa yang terasa, karena telah bertahan pada satu keadaan di mana segala rindu harus terkungkung rapat dan menyesakkan. Terima Kasih karena selalu mencoba kuat. Tertatih yang biasa dirasa, kini tidak lagi. Aku bisa berjalan dengan sangat baik, setelah sekian lama merasa pincang karena separuh dariku menghilang. Yang terus merasa tak pernah seimbang, merasa tidak pernah utuh. Tidak lagi, aku menemukan hal-hal yang bisa mengisi kosong yang kau buat dalam relung jiwaku selama ini. Ada hal-hal yang ternyata bisa menggantikan ketidak hadiranmu. Bukannya aku menemukan pengganti yang bisa kusebut rumah seperti aku menyebutmu sebelumnya, hanya saja aku merasa bahwa aku memang tidak seharusnya menganggapmu rumah ketika aku bisa menjadikan diriku sendiri rumah bagiku. Rindu-rindu itu sudah menguap meski belum pernah kuungkapkan padamu. R...

Aku Akan

Tadi aku tidak sengaja melihatmu, sedang berada di tengah kerumunan orang. Kudengar samar kalian sedang beradu tawa. Tapi, aku tidak melihat secercah senyum di wajahmu apalagi gelak tawa. Hilang ke mana? Apakah ada seseorang yang berani mecuri senyum itu dari wajahmu? Siapa? Bilang padaku! Aku dulu seringkali merutuki diriku sendiri jika membuatmu terlihat begitu tersiksa. Berusaha setengah mati membuatmu tetap bahagia. Sekarang, siapa yang berani-beraninya membuatmu menekuk mukamu begitu? Membuat wajahmu terlihat masam? Apakah mereka sedang menutup rapat-rapat telinganya untukmu? Sehingga kamu tidak lagi mampu berbagi hal yang menusuk dadamu? Apakah mereka sedang berusaha bungkam padamu? Sehingga kamu tidak tahu harus apa saat tersesat seperti sekarang? Apa kamu sedang benar-benar hilang arah? Sedalam apa kamu terjatuh kali ini sampai tidak bisa menapakkan kakimu sendiri di atas bumi? Sehebat apa rasa sakitmu sampai kamu tidak   mampu lagi untuk menangis? Seberat apa b...

#3 - Aku Sudah Selesai

Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk terus bertahan pada sebuah rasa untuk seorang manusia. Aku sudah membiarkan ribuan bahkan jutaan detik berlalu begitu saja untuk menunggumu. Seseorang yang bahkan tak pernah lagi berniat untuk   kembali. Hanya karena terbiasa bersama, aku jadi merasa kalau bukan kamu semua akan terasa biasa saja. Semua akan terasa tidak semenakjubkan saat denganmu. Hingga segalanya kututup dengan rapat. Segalanya kusimpan dengan sempurna. Segalanya kubiarkan tetap hidup, selayaknya kita yang pernah mencipta. Padahal ‘kita’ saja sudah lama mati. Sebangga itu aku pernah bersama. Aku menunggu, diam-diam mendoakan, diam-diam memperhatikan, diam-diam berharap Tuhan masih mau menyisakan sedikit waktu untukku dan kamu sekali lagi. Konyol! Aku begitu bodoh, kan? Sudah tahu bahwa ceritanya telah ditamatkan, tapi masih saja berusaha menyambungkan. Meski tidak terdengar, aku tahu mereka di luar sana sedang berbisik “menyedihkan”. Tentu, aku tahu. Atau kamu...

#2

Aku bahkan bingung harus memulai dari mana dan bagaimana. Apa kabar? Tentangmu, aku belum sempat memastikan apa aku sudah sampai pada titik terakhir penantianku atau belum. Aku belum sempat menyelesaikan apa-apa yang seharusnya sudah kuselesaikan layaknya yang kamu lakukan. Setidaknya aku sudah ribuan kali menyadarkan diri bahwa kamu sudah tidak lagi di sini. Tidak ada lagi hati yang merekah saat aku kembali menunjukkan diri disatu hari. Melihatmu tertawa di satu meja bersama mereka membuatku merasa lega, ternyata sudah ada mereka yang kini menjaga tawamu. Kupikir kamu sudah jauh lebih menikmati dan mencintai hidupmu.   Akan ada banyak bahu yang siap menjadi sandaranmu kelak saat kamu tidak lagi kuat mengangkat kepalamu. Ada tempat untukmu untuk menyembunyikan isak tangis dalam dekapan mereka nanti. Aku lega. tidak ada lagi hal yang harus aku khawatirkan. Terlalu banyak hal yang aku tuliskan atas namamu. Ingatan-ingatan perihal kita yang pernah bersama yang bersandi...

Peraduan

Ada hal yang menyakiti jiwa disatu hari, kemudian setapak demi setapak menghantarkan sepasang kaki berdiri di hadapan. Mengulurkan tangan dan berkata “aku akan menyembuhkan”. “Bagaimana bisa?” “Aku akan memberimu kebahagiaan.” Aku sudah lelah dengan kebahagiaan yang kian lama berubah makna menjadi sebuah kesakitan. Terlalu banyak di luar sana bibir yang berucap sebuah bahagia nyatanya menyuguhkan lara.   Lantas bagaimana bisa aku mempercayai jika disayat berulang kali? “Jangan datang, aku sudah cukup sengsara.” “Aku yang nanti akan mencabutnya.” Aku sudah muak mencoba meyakini seseorang yang berjanji membawa kesenangan yang sejati. Yang nyatanya hanya menyakiti. Aku sudah terlalu lama terbohongi dengan tipu daya yang mereka miliki. Menuntun pada sebuah keramaian yang berujung sepi. Lalu bagaimana bisa seseorang benar-benar mengakhiri? Hingga disatu hari yang lain, ada tempat di mana menangis dengan terisak tidak lagi harus membatin. Ada tempat di mana berkeluh kesa...

Ada Saatnya

Kamu yang datang menghidupkan harapanku. Kamu bilang kita akan pergi menuju ruang tanpa kehampaan dan aku percaya. Hingga akhirnya aku benar-benar merasa terisi oleh titik-titik bahagia pada genggamanmu. Hati yang dipenuhi lara, tidak lagi gugur. Yang bernamakan bahagia itu kini membuatnya kembali bersemi, memberi warna, membawa terang. Lalu kemudian aku tahu ternyata mereka punya masa. Pada suatu hari kamu pergi entah kemana, tanpa menyisakan jejak. Hening dalam sekejap. Nyatanya kamu yang menggiringku pada kekosongan. Meninggalkanku pada ruang yang tak lagi terjamah. Menyisakan luka-luka yang tadinya sembuh kini kembali menganga. Aku telanjur terjebak pada sebuah rasa. Dijerat dalam rindu. Terkukung oleh ketulusan. Kamu pergi dan aku (masih) menanti. Aku dibodohi. Aku tahu. Setelah dihidupkan dengan seribu makna, aku ditinggalkan dengan sejuta luka. Tapi, sayang sekali, yang kamu tinggalkan dan kamu harap lekas mati itu nyatanya tak pernah hilang nyawa. Masih hidup dan ...

Bungkam

Aku bukannya tidak lagi menoleh ke arahmu. Aku bukannya tidak lagi berusaha mendengar suaramu. Aku bukannya tidak lagi peduli. Aku masih. Aku bukannya tidak lagi mau bertemu dan membebaskan beban rindu. Aku mau. Tapi, bukan sekarang. Aku tahu atas segala yang kamu kicaukan. Tentang bagaimana kamu merasa diabaikan. Tentang bagaimana kamu merasa hampa setelah tidak lagi denganku. Tentang bagaimana kamu masih menyukaiku. Aku tahu. Hanya saja aku memilih diam. Tidak kutulis “aku juga merindukanmu” di kolom chat. Tidak kubalas pesan-pesanmu. Tidak kuangkat tiap kali ponselku berdering dan tertera namamu di sana. Aku memilih bungkam. Bungkam atas perasaan yang masih hidup dalam dada. Aku bukannya benci karena masih menyayangimu. Aku benci pada diriku sendiri yang tiap kali berada di sisimu hanya bisa mengundang luka. meski berkali-kali kamu bilang semua baik-baik saja, setengah dariku hancur tak bersisa. Menyamakan dua kepala tak semudah yang dikira. Kau dan aku sedang ti...